Perjalanan - Fajar Pagi Di Lembah Gantarawang #1
Sopir bus antar kota itu benar-benar tidak menghentikan kendaraannya,mobil bus itu hanya memperlambat lajunya saja, ketika sang kondektur berteriak lantang menyebut sebuah tempat sambil tangan kanannya memukul-mukul pintu bus memberi pertanda pada sang sopir bahwa ditempat itu ada penumpang yang akan turun. Dan benar saja, tak lama kemudian menyusul seorang pemuda terlihat turun dari bus antar kota itu. Kaki kirinya terlihat lincah melompat dari pintu mobil bus yang tak benar-benar berhenti itu, asap hitam menggumpal ketika deru mesin mobil bus itu terdengar meninggalkan sipemuda seorang diri. “Hups !,akhirnya aku sampai juga ditanah kelahiran ku.” Pemuda ini membathin dan memulai perjalanan.
Sejauh mata memandang nampak hamparan pesawahan yang menghijau dan kini pemuda itu tengah melakukan perjalanan menyusuri sebuah jalan yang berbatuan hitam,jalan kecil itu diapit oleh dua buah parit kecil yang berair jernih dengan alang-alang setinggi betis kaki. Riak air terdengar gemericik menimbulkann suara kedamaian alam, hari sudah siang namun terik matahari tak terasa begitu menyengat. Pemuda ini terus melanjutkan perjalanan dan kiann jauh kedalam pedesaan sambil mengingat –ingat siapa orang pertama kali yang harus dia temui setibanya di desa yang ia tuju.
Setelah hampir setengah jam lamanya dia berjalan dan akhirnya bertemu dengan beberapa orang yang ada di sebuah perkampungan ,mereka terlihat saling berbisik ketika melihat si pemuda.
“Assalamualaikum... permisi... numpang tanya kang, kalau mau ke desa Kaduhejo apakah masih jauh dari sini?!”
“Kaduhejo? Wah atuh caket den,eta diseberangeun kampung ieu. Bade tepang sareng saha di kampung kaduhejo teh?!”
Mendengar jawaban dengan bahasa daerah setempat tersebut tak ayal membuat sipemuda ini keras berpikir,dia tidak begitu mengerti maka kembali dia bertanya.
“Maaf kang,bahasa daerah saya nilainya Nol, saya kurang mengerti kang!”
“Iya,iya saya maklum. Aden teh kekampung Kaduhejo mau kerumah siapa Den?!”
“O...saya mau kerumahnya Nyai Entin kang!”
“Nyi Entin dukun melahirkan itu !?”
“Oh...jadi orang yang akann aku temui seorang dukun melahirkan.”
“Adenn teh dari kota ya? Ada perlu apa ketemu sama nyi Entin?”
“Benar kang. Ada sesuatu yang ingin saya tanyakan pada beliau ! ceritanya panjang jika saya ceritakan sekarang.”
“Wa...iya deh !, kampung kaduhejo teh letaknya diseberang kampung ini.! Aden lurus saja nanti teh ketemu pertigaan, tah tidak jauh dari sanasudah deh Aden nyampe.”
“Wah sudah dekat dong kalau begitu!, baiklah! Saya pamit dulu ya kang. Terima kasih banyak... Assalamualaikum !.”
“Sama-sama Den, Waalaikumsalam !!.”
Satu meter dua meter langkah kaki sipemuda mulai jauh meninggalkan kampung yang tadi di singgahinya, namun hingga kini hari sudah mulai sore belum juga dia menemukan kampung kaduhejo yang ditujunya.sebentar dia menoleh kearah belakang, bulu kuduknya sempat meremang. Dipinggiran sepanjang pematang sawah yang dilaluinya memang terdapat banyak pohon pisang,dan entah mengapa perasaan hati si pemuda kini mulai jadi tak tenang. “Aku tak boleh kemalaman dijalan,bisa berabe urusannya !!!.” begitulah bathin si pemuda,cepat dia kembali melangkahkan kakinya, menabrak alang-alang yang merintangi langkahnya dan sama sekali tidak mau menghiraukan bisikan-bisikan aneh yang datang dari arah belakang punggungnya.
Suasana kini benar-benar mulai meremang, kegelapan perlahan menyelimuti jalan kecil berbatu yang kini tengah ditempuh oleh si pemuda. Nampaknya ke inginannya tak akan terlaksana untuk tidak kemalaman di jalan, karena nyatanya hingga detik itu belum juga dia menemukan tanda-tanda adanya sebuah perkampungan. Diam-diam hatinya mulai merasa dongkol ketika teringat ucapann si akang yang bertemu dengannya, atau dia sudah tersesat... “Kampreeet!! Katanya tak jauh, tapi sudah sejauh ini belum juga ku temui perkampungan.”
Bunyi suara jangkrik yang bersahutan menambah keangkeran suasana jalan yang kini tengah dilaluinya, pada bagian pundaknya kini terasa seperti ada beban berat dan terasa kram pada leher bagian belakang, sesekali matanya seperti menangkap kilatan cahaya berbentuk bayangan putih dan sangat tipis dan lebih ringan dari kapas atau hampir menyerupai asap tipis. Penangkapan bayangan putih yang tertangkap oleh kedua matanya mendadak membuat seluruh persendian tubuhnya terutama pada bagian kedua kakinya terasa berat untuk melangkah, dengan berselimut keringat dingin pemuda inipun coba mempercepat langkahnya lalu benar-benar berlari...
Walau sinar bulan mampu sedikit memberi sinar temaramnya namun berlari di jalan kecil nan berbatu itu membuat si pemuda terjatuh juga, perasaan takut benar-benar telah menguasainya. Dimana kini dia berada telah menggerogoti alam sadarnya, perlahan malam kian larut dan semakin membawanya jauh ke alam dimana segalanya akan menjadi diluar nalarnya.
Harimau Jejadian – Fajar Pagi Di Lembah Gantarawang #2
Perasaan lega sedikit terpancar di wajah si pemuda ketika di tengah suasana yang mencekam hatinya itu, dia mendengar suara seekor kambing. Baginya suara itu adalah sebuah pertanda kehidupan yang mungkinn tak akan lama lagi tempat yang ditujunya ada dan tak jauh dari hadapannya, benar saja. Seekor kambing berwarna putih kini berada di hadapannya, berdiri merintangi arah jalan si pemuda. Bulu putihnya berkilat terkena siraman sinar bulan, meski tak terlihat tali melingkar di leher kambing ini, namun entah mengapa kambing ini tak juga merubah posisi tubuhnya.hewan ini tetap melintang ditengah jalann berbatu itu, sekali-kali kambing ini bersuara dann mengarahkan pandangannya kearah si pemuda.
Untuk beberapa saat pemuda ini terdiam, dia seperti tengah berfikir, menerka-nerka mengapa kambing ini berada di tempat ini dan siapakah gerangan pemilik binatang ternak ini? Satu perasaan aneh perlahan terasa hangat menjalari tubuhnya lalu berhenti di pusaran tengkuknya, perasaan itu berubah menjadi dingin dan kembali meremangkan bulu kuduknya. Tidakkah terasa janggal di tempat entah berantah ini tiba-tiba muncul seekor kambing? Tidak, tidak! Mungkin saja memang ada salah satu warga yang nantinya mencari kambing ini, dan dia berharap bisa bertemu dengan sipemilik kambing dan bisa meminta pertolongan padanya.
Namun kenyataan berkata lain,hingga telah beberapa jam dia berdiri menunggu tk ada seorang punn yang datang ketempat itu. Jika bukann karena malam yang semakin larut dann perasaan mencekam itu tak begitu kuat, mungkin beberapa jam lagi dia akan coba menunggui namun kesabarannya sudah keburu habis.
“Husht...!”
“Husht...!”
Dia coba menghardik dan mengusir kambing yang ada di hadapannya itu agar tak lagi menghalangi jalannya. “Minggirlah kau kambing, biarkan aku lewat !” batin si pemuda. Entah mengapa kambing ini sedikit pun tak beranjak juga dari tempatnya, hanya salah satu kaki belakangnya saja terlihat menendang-nendang ke tanah. Sekali dua kali, hingga perasaan jengkelnya meluap serta cacian keluar dari mulut si pemuda, kambing ini tak sedikit pun bergerak. Selepas itu keberadaan kambing ini malah semakin membuat bulu kuduk si pemuda semakin meremang, karena beberapa keganjilan kian terasa di hadapannya. “Apa itu? Aku seperti melihat nyala api dari sepasang mata kambing ini.”
Karenan dorongan rasa takut atau karena tekadnya yang begitu kuat untuk cepat sampai di kampung yang kini tengah di tujunya, atau memang pikirannya telah di kuasai oleh kedua perasaan itu, pemuda ini pun nekad menerjang tubuh binatang ternak yang ada di hadapannya itu. Kaki kanannya keras mendorong tubuh binatang itu hingga terpapar ketepiann jalan berbatu, dan sebelum tubuh kambing naas ini terlempar lebih jauh dann mengenai pesawahan,tiba-tiba sebuah kejadian aneh terjadi.
Ke dua mata si pemuda nyaris melompat keluar karena menyaksikan keanehan serta kengerian yang seumur hidupnya baru kali inilah dialaminya, seumur hidupnya hampir tak percaya dengan hal-hal gaib dan penampakkan makhluk jejadian atau pun siluman. Di tempat dimana dia di besarkan pemandangan seperti ini hanyalah ada dalam dalam Film dan beberapa acara televisi yang biasa tayang di malam jum’at saja. Tetapi kini dan di depan matanya, telah berdiri seekor harimau jejadian. Kambing yang tadi di tendangnya telah berubah wujud menjadi seekor harimau yang sangat menyeramkan, matanya bersinar merah seperti saga, gigi=giginya terlihat tajam dengan empat taring dibagiann depan.
“BRUUUK..!” mendadak saja pemuda ini ambruk,dan terduduk di tanah seluruh tubuhnya terasa lemas, persendian kakinya serasa hilang. Ingin rasanya dia berteriak sekeras-kerasnya, agar ada seseorang yang mendengar teriakkannya. Namun lidahnya terasa begitu kelu, dadanya terasa sesak nafasnya tersengal tak beraturan. Tak mampu menahan himpitan rasa takut yang teramat sangat menyeramkan itu tubuhnya pun bergetar, keringat dingin sebesar biji jagung terasa meleleh dan membasahi sekujur tubuhnya. Pandangan matanya pun perlahan mulai kabur, dan semakin lama semakin menghitam. Dan tak lama kemudian pemuda ini pun akhirnya jatuh pingsan....
Perjamuan di lembah kengerian – Fajar Pagi Di Lembah Gantarawang #3
Embun malam terasa dingin menetes diwajah si pemuda, yang pada akhirnya membangkitkan alam sadarnya kembali. Setelah sekian menit mengalami pingsan. Perlahan kedua kelopak matanya terbuka, dan masih dalam posisi terlentang tangan kanannya coba mengucek kedua matanya. Perlahan pandangannya menangkap beberapa sinar bintang yang berkerlap kerlip di angkasa, langit malam terasa begitu indah. Namun ketika pemuda ini menyadari dimana kini ia tengah berada,mendadak saja rasa takut datang menteror dan kembali mencekam hatinya.
“ya Tuhan, dimana kini aku sedang berada?” cepat pemuda ini bangkit.kemudian melihat kesekelilingnya, dia sadar ternyata ia masih berada di jalan sempit dan berbatu hitam itu. Apa yang telah terjadi tadi? Dan menimpa dirinya? Apakah ia sedang bermimpi? Pemuda ini berusaha mengumpulkan segenap ingatannya yang beberapa menit lalu menghilang.
Tidak, tidak... ini bukanlah mimpi. Sama sekali bukan mimpi !. karena cubitan kecil dipergelangan tangannya terasa menyakitkan. Ya Tuhan, mana harimau jejadian itu? Mendadak ia teringat kembali kejadiann terakhir sebelum ia jatuh pingsan. Waktu itu di depan matanya muncul seekor harimau yang sangat menyeramkan, bulu kuduk si pemuda tak henti meremang.... pontang-panting dia berlari meninggalkan tempat dimana dia menjumpai seekor harimau jejadian.
Aneh, sejauh apapun dia berlari jalanan kecil berbatu itu seperti tak berujung jua, letih terasa membebani sekujur tubuhnya. Sambil mencoba mengatur nafas, pemuda ini berhenti di sebuah deretan pepohonan bambu yang sangat rimbun, satu menit dua menit, dia coba menenangkan dirinya... suasana malam begitu mencekam, hembusan angin terasa keras mendesir dan menderu-deru ditelinganya. Lolongan anjing terdengar bersahutan, lalu tak berapa lama berselang... samar-samar telinganya mendengar suara-suara.
Ketika semakin mencoba untuk mempertegas suara yang tertangkap indra pendengarannya, mendadak dia terpekik kegirangan. Suara itu adalah suara orang-orang yang layaknya tengah berada di sebuah tempat keramaian seperti di sebuahh tempat perjamuan, atau lebih tepatnya sebuah pesta seperti pernikahan. Pemuda ini tersenyum, dalam hatinya berkata “Ya Tuhan, aku senang sekali menemukan suasana keramaian.” Begitulah ungkapan kata yang ada dalam hatinya.
Dan memang semenjak dirinya memasuki jalanan setapak ini, dia tak pernah lagi merasakan keramaian dari manusia yang ada. Disini semuanya hanya kesunyian, dan rasa mencekam. Ternyata kini di tempat entah berantah dan ditengah sinar bulan begitu terang bersinar, di hadapannya telah terpampang sebuah perjamuan. Lengkap dengan suara musik gamelannya.
Walau merasakan suatu keanehan,ketika melihat kepada orang-orang yang hadir di sana, pemuda ini tidak terlalu memperdulikannya. Pikirnya, asal wujud mereka tidak seperti harimau dia masih beranggapan biasa saja. Walau jauh di lubuk hati kecilnya dia ingin sekali bertanya, mengapa orang-orang di sini berjubah hitam semua, ini tidak seperti sebuah perjamuan, melainkann seperti tempat berkabungnya orang-orang yang ditinggal mati.
Wajah mereka nyaris tak terlihat, karena tertutup kain hitam sebagai penutup kepala mereka. Hingga untuk melihat langsung ke arah mata mereka pemuda ini merasa kesulitan.
Ada bau aneh yang tercium oleh hidungnya mulai ketika memasuki tempat perjamuan itu. Bau itu seperti bau dari asebuah pembakaran ubi, lebih tepatnya seperti ubi yang hangus terbakar. Baunya memenuhi atmosfir langit tempat perjamuan itu berada. Pemuda ini terus masuk menelusuri dan melewati gerbang.
Sinar bulan meredup dan digantikan oleh beberapa cahaya dari nyala obor yang di tata berbaris di pintu masuk, beberapa pasang mata melihat tajam kearahnya. Mata mereka berkilat, lalu dari bibirnya terlihat sebuah senyum penuh kengerian. Salah satu dari mereka datang menghampiri... “anak manusia, makanlah ini agar perut mu tak keroncongan. Kami tahu kamu pasti kelaparan sekali sekarang ini.” Si pemuda terdiam. “ disini kau tak perlu merasa sungkan. Disana tengah ada perjamuan... kau bisa makan dan juga minum sepuas mu!!, mari... ikutlah dengan kami.” Suaranya terdengar berat saat berkata, pemuda ini terdiam... “anak manusia, siapa nama mu?”
kembali si pemilik suara yang berat itu berkata, dan kini menanyakan namanya. Seperti orang yang linglung, pemuda ini coba mengingat namanya sendiri. Lama dia mematung terdiam. Dan akhirnya menyerah dengan menggelengkan kepala. “kenapa aku tak bisa mengingat nama ku sendiri?... sebenarnya apa yang sedang terjadi?” batin si pemuda. Gelak tawa mereka terdengar benar-benar menakutkan!
Meretas Waktu, Menguak Tabir - Fajar Pagi Di Lembah Gantarawang #4
D i dalam sebuah ruang kerja seorang lelaki tengah duduk. Dari raut wajahnya dia nampak seperti tengah berfikir keras, ujung-ujung jari tangannya tak henti mengetuk dan bersentuhan dengan permukaan meja. Seperti tengah mencari sebuah irama yang tepat atau entah hanya menjadikannya teman pemikiran. Jari-jari tangannya itu terus menari dan mengetuk permukaan meja, hingga mendadak berhenti ketika sesuatu berkelebat dalam benaknya. Namun sedetik kemudian lelaki ini menggeleng-gelengkan kepalanya dan kembali merenung sambil jemarinya kembali bermain mengetuk-ngetuk permukaan meja.
“tidak mungkin !.aku yakin dia akan bertahan sekeras apapun itu keadaannya. Aku kenal benar dengan sifat pemuda itu... aghh, di mana kini kau berada Ramlan!?” desiran angin terasa dingin menyentuh di tengkuk leher belakangnya. Lelaki ini melirik ke arah dimana pendingin udara berada, “Sial !. AC diruang ini mengapa mendadak terasa begitu dingin.” Gumamnya.
Tit.. tit... satu pesan singkat masuk kedalam Cellphonenya, cepat dia meraihnya dan membaca isi pesan tersebut. Setelah membaca SMS itu dia terlihat merapihkan beberapa benda yang tercecer di atas meja kerjanya, lalu berlalu meninggalkan ruang kerjanya.
*******
Tak lama setelah Andini datang di tempat kediaman Ramlan dan ibu angkatnya, sebuah mobil berhenti di pelataran rumah. Dari dalam mobil keluar dua orang yang sudah sangat mereka kenal, seorang lelaki bertopi dan seorang perempuan berkaca mata. Ya, mereka berdua adalah kapten Harris dan Rosita. Andini mengawasi kedua sahabatnya itu dari depan pintu rumah, lalu melambai ke arah keduanya seraya berseru memanggil nama keduanya. “Sita !... Kapten !...”
Keduanya terlihat bergegas menghampiri Andini yang mematung di depan pintu, ada yang lain dari sikap yang diperlihatkan kapten Harris ketika berjalan bersama Rosita. Lelaki ini terlihat mesra menggandeng tangan Rosita. Memang... semenjak berakhirnya kasus penangkapan Andi yang melibatkan Rosita dan juga Andini, diam-diam hati sang kapten telah terpikat oleh kecantikan Rosita. Di tambah lagi, semenjak Andi di vonis hukuman dan kini mendekam dalam penjara kesempatan bertemu dan menjalin keakraban semakin kerap terjalin diantara keduanya.
“Entah bagai mana kini nasib Ramlan,dia seperti lenyap ditelan bumi. Beberapa orang sudah saya kerahkan untuk mencari. Namun hingga kini tak satu pun yang menemukan kepastian di mana kini ia berada...” kapten Harris berkata setelah sebelumnya berbasa-basi dengan ibu dan juga Andini. Kecemasan terlihat jelas di raut wajah masing-masing, sekuat hati si Ibu menahan kesedihannya, hingga tiada isak namun air matanya berlinang dan membasahi pipinya yang sudah nampak beberapa kerutan. Andini memeluknya, sambil menahan kesedihan wanita ini berkata.
“kuatkan hati ibu, kami tak akan berhenti dan akan terus mencari keberadaannya.” Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut si Ibu. Namun pandangan serta sorot matanya seakan –akan berkata pada Andini agar dia memegang perkataannya untuk terus mencari keberadaan Ramlan.
“Ibu percaya pada kalian, karena kalian memang sahabat-sahabat dekatnya !” “Terima kasih bu!, kami berjanji akann terus mencarinya.” Kapten Harris menjawab perkataan si Ibu. “Ahh...aku ada ide !!!..” tiba-tiba Andini berseru.
Para Pembawa Harapan – Fajar Pagi di Lembah Gantarawang #5
Para Pembawa Harapan – Fajar Pagi di Lembah Gantarawang #5
S epanjang perjalanan pulang, kapten Harris lebih banyak diam ketika sedang mengemudikann mobilnya. Menyadari perubahan yang tidak biasanya itu, Rosita memberanikann diri berkata. “sayang sekali ya bang, Andini tidak satu satu arah dengan kita?!” diapun menambahkan, “...padahal aku masih kurang mengerti dengan rencana yang di usulkannya!”. Kapten Harris melirik kearah gadis yang ada disebelahnya, “itu dia yang membuat abang tak habis pikir Sita !. bagai mana mungkin Ramlan bisa tersasar ke negeri siluman, itu tidak masuk akal. Abang tidak suka jika harus berurusan dengan hal-hal berbau mistis seperti itu. Saya tidak
Merasa ada reaksi dari kekasihnya itu, Rosita kembali berkata. “sebenarnya Sita juga tidak begitu mengerti dengan usulan Andini, tapi jika dipikir lagi... aku rasa tidak ada salahnya jika kita mencoba. Asalkan kita tetap ikhtiar dann berusaha.” Sekali lagi kapten Harris melirik ke arah Rosita, lalu dia berkata. “ya sudah. Tapi tetap saja abang tidak akan sepenuhnya percaya dann mendukung rencana Andini !.” mendengar hal itu Rosita sedikit kecewa, namun itu adalah sebuah keputusan yang telah di ambil oleh sang kapten. Rosita hanya bisa menghargainya saja.
“oya bang, di warung nasi ketan kita berhenti dulu ya?, biasanya sore seperti ini masakannya sudah matang, kita mampir ya?”. Harris mengangguk sambil tersenyum kearah Rosita. “boleh juga tuh!. Abang suka sekali dengan masakan ketan langgananmu itu he..he..he..”
“Hey, ayolah ! jangan ragu-ragu seperti itu, makanlah sepuasmu. Ini cobalah masakann daging ini...” orang yang berjubah hitam dengan suara yang berat setengah memaksa si pemuda agar menyantap makanan yang ada dihadapannya. Namun entah mengapa, pandangan mata si pemuda ini ketika melihat kearah makanan itu, samar-samar dia seperti melihat seonggok bangkai busuk saja. Pandangan matanya seperti TV hitam putih yang mulai rusak, kadang sepintas terlihat gambar yang bagus dan kadang gambar yang buram. Tak henti-hentinya keanehan menimpa dirinya, terlebih ketika tanpa sadar ia melihat kearah salah satu sosok berjubah hitam yang ada di meja yang lain.
Jelas ia melihat kengerian di tempat perjamuan itu, dia nyaris bangkit dan ingin berlari dari keramaian yang sangat menyeramkan itu. Dalam hatinya dia terus bertanya-tanya, “aku yakin ini bukanlah duniaku, lalu sedang berada dimanakah sebenarnya aku ini? Mata itu...., begitu merah menyala dan dari deretann gigi yang tajam itu aku melihat ceceran darah meleleh di sudut bibirnya. Ini seperti film horror, namun mengapa terasa begitu nyata bagiku.”
“sudah hampir dua minggu ini, dia meninggalkan rumah pak!” Andini menjawab ketika pak Kiai bertanya padanya, mata pak Kiai melirik kearah Andini, lalu beralih pada sebuah photo yang ada dalam genggaman tangannya. Pandangan matanya menatap lekat-lekat pada selembar photo itu, dan entah mengapa wajah pak Kiai yang biasanya terlihat tenang itu... kini mendadak berubah menjadi terlihat tegang. “pria malang ini benar-benar sedang dalam masalah besar. Secepatnya kita harus menyelamatkannya !” terdengar pak Kiai berkata, membuat heran ketiga tamunya.
Ini adalah perjalanan yang kesekiann kalinya bagi Andini, karena kedua orangtuanya sudah sering mengajaknya berkunjung ke tempat kediaman pak Kiai Mustofa. Seorang pengurus pondok pesantren yang berada di barat kota, namun perjalanan kali ini ditempuhnya bersama dua orang sahabatnya. Yakni kapten Harris dan Rosita, mobil yang mereka tumpangi terus melaju membelah jalanan hingga beberapa jam kemudian kehingar-bingaran kota besar telah jauh tertinggal di belakang mereka.
Jalanan kian terasa lenggang hanya sesekali mereka berpapasan dengan bus besar antar kota, “kira-kira jam berapa kita akann sampai di tempat kediaman pak Kiai, Din?” kaptenn Harris bertanya sambil tangan kirinya lincah memindah persenelling mobil, “jika kita tidak rehat, dan dengan kecepatan seperti ini, perjalanan bisa di tempuh dengan waktu 4 jam-an.” Kapten Harris melirik kearah jam tangannya, lalu berkata. ”berarti sekitar jam 6 sore kita akann sampai..” “itu artinya kita harus menginap di tempat pak Kiai dong?.” Rosita menyambung perkataann Harris. “ya enggaklah. Kalau kamu tidak kasihan sama bang Harris.” Andini menjawab sambil setengah menggoda Rosita.
Janganlah Bersumpah Serapah- Fajar Pagi Di Lembah Gantarawang #6
Pagi itu Andini dan Rosita sudah ikut berkumpul bersama keluarga pak kiai untuk sarapan pagi bersama, pandangan mereka terus mencari-cari pak kiai dan juga Harris, keduanya belum juga terlihat datang dan berkumpul di meja makan bersama mereka. “Sita, apa kau sudah bertemu dengan bang Harris atau pak Kiai?” setengah berbisik Andini bertanya pada Rosita, “belum. Mungkin keduanya masii tertidur, karena semalam aku mendengar mereka berdua bersama beberapa orang santri pergi kesebuah lembah yang ada di bawah gunung yang tak terlalu jauh dari kampung ini.” Andini tampak mengernyitkan dahi, dari pembicaraan kedua gadis itu istri pak kiai ikut bicara, “konon ceritanya lembah yang didatangi oleh bapak dan nak Harris itu adalah pintu bagian selatan dari negeri siluman neng.! Dari cerita yang Umi dengar, negeri siluman itu memiliki empat pintu utama. Masing-masing letaknya adalah di sebelah barat, timur, utara, dan juga selatan. Semua pintu itu berpusara dii gunung yang tinggi itu...” istri pak kiai menunjuk sebuah puncak gunung yang terlihat dari jendela rumahnya.
Andini dan rosita saling pandang, lalu Rosita berkata, “tapi itu tidak masuk akal Umi. Bagai mana caranya pak Kiai dan bang Harris bisa sampai ketempat sejauh itu dalam 1 malam?” Andini terlihat mengangguk-anggukkan kepalanya, “itulah alam gaib, kadang-kadang membuat pemikiran kita harus bertolak belakang dengan kenyataan.”
Di atas sebuah tikar, pak kiai duduk bersila di tengah lingkaran beberapa orang santri-santrinya, kapten harris ikut bergabung mengelilingi pak kiai. Walau hatinya penuh dengan tanda tanya namun ia tak berani gegabah bertanya ini dan itu pada pak kai, wibawa pak kiai begitu besar hingga ia merasa sungkan untuk bertanya mengenai apa yang hendak dilakukannya di tengah malam itu. Suasana malam begitu senyap, jangkrik saja seolah enggan bersuara, namun tak dapat ia pungkiri desiran angin terasa berbeda menerpa kesekeliling mereka berada. Suaranya mendesir kencang di telinga dan menggoyangkan dedaunan yang berada tak jauh darinya.
Pak kiai terdengar mengeluarkan batuk kecil, lalu bergerak mendekat ke arah kapten harris. Sebelum berkata, kembali suara batuk pak kiai terdengar, “nak harris tentunya bertanya-tanya mengapa kita semua berkumpul di tempat ini? Jika nak harris berkenan izinkan saya membuka aura nak harris agar segala kejadian nanti bisa nak Harris saksikan sendiri. Tentang bagai mana laknatnya perbuatan ‘mereka’ terhadap salah satu sahabat nak Harris.” Pemuda ini menganggukkan kepala, lalu berkata.
“silahkan pak Kiai, saya sudah siap.!” Setelah itu pun pak kiai mengangkat tangan kanannya, sambil merapal beberapa do’a tangan kanan pak kiai menghalau di depan wajah sang kapten, kemudiann seperti orang yang sedang menyingkirkan air dari wajah si pemuda, tangan pak kiai terlihat mengibas-ngibaskan tangannya dari atas hingga ke bawah permukaan wajahnya.
Beberapa kejap setelah tangan pak kiai menjauh dari wajahnya, mendadak sang kapten jatuh terjerembab ke belakang. Kedua siku tangannya bertumpu ke tanah menahann berat badannya. Dia tak mampu menguasai tubuhnya ketika rasa kaget yang begitu luar biasa mendera dirinya, bagai mana mungkin? Ini mustahil, ini pasti hanya sebuah halusinasi mimpi belaka. “Astaga.!!” Kapten Harris terpekik kaget, “Pak kiai, tolong katakan kepada saya... ini semua hanyalah mimpi !.” masih tak percaya dengan apa yang disaksikannya kapten Harris berkata.
“tidak nak Harris.! Maaf saya tidak dapat menyangkal semua ini. Apa yangt nak Harris lihat ini adalah nyata, bagi mereka yang bisa menyaksikannya.!” “bulu kuduk saya tak henti meremang, saya tak kuat menyaksikan ini semua. Ini sangat mengerikann sekali pak kiai.!?” “...Bersabarlah, kuatkann hatimu. Saya terpaksa melakukan ini agar pria malang yang ada di sana bisa mengenalimu.!” Tubuh sang kapten tak henti bergetar, gigi grahamnya beradu, ingin sekali dia memejamkan matanya setiap kali sosok abstrak gentayangan itu berseliweran dihadapannya.
Tiba-tiba kembali kapten Harris harus beringsut dari duduknya, ketika terdengar suara tawa beberapa gerombolan kuntianak, wujud mereka menyerupai wanita dengan baju putih panjang serta rambut hitam kusut yang menjuntai panjang. Sorot mata makhluk ini mengerikan ketika menatap langsung kearah sang kapten, menyeringai lalu terbang dan bergelantungan pada sebuah pohon besar yang berada tak jauh dari lingkaran di mana pak kiai, kapten Harris dan beberapa santrinya berada. Tawa makhluk ini terasa sekali menusuk hingga ke ulu hati sang kapten.
Kapten harris beringsut dari duduknya, beberapa orang memegangi tubuhnya memaksanya agar tetap duduk dan tak meninggalkan dan keluar dari lingkaran yang mereka buat. “bertahanlah nak Harris.! Ini belum seberapa...” setengah berbisik pak kiai berkata.
Menembus Dunia Lain - Fajar Pagi dilembah Gantarawang #7
S ambil menyendok makanan yang tersedia diatas meja,pandangan Andini tertuju ke arah jendela. Ia melihat kembali puncak gunung yang ditunjuk oleh Umi, yang mana menurut penuturan istri pak Kiai, bahwa puncak gunung itu adalah pusat dari negeri dimana bangsa jin berkumpul dan membangun kerajaannya. Perlahan ia memasukkan sendok berisi nasi goreng ke dalam mulutnya,lalu dengan perlahan pula mulai mengunyah dan merasakan bumbu yang telah tercampur dalam mulut. Benaknya melayang melintasi celah jendela dimana mereka sedang duduk menyantap sarapan pagi.
Tiba-tiba pak kiai menyentuh ujung bahunya dan sedikit mengguncangnya, membuat dirinya tersadar bahwa kini dia tengah menembus dunia lain guna mencari sahabatnya yang tersesat hingga kedunia siluman. “coba nak Harris perhatikan sosok hitam yang sedang duduk disana.!?” Pak kiai menunjuk pada sebuah pohon besar yang begitu rindang, lapat-lapat mata sang kapten memeperhatikan sosok yang ditunjukkan oleh pak kiai. Dia tidak begitu yakinn jika sosok tersebut adalah manusia, maka dia pun berkata. “bisakah kita lebih mendekat lagi pak kiai.?! Saya kurang yakin dengan sosok itu.!” Pak kiai menganggukan kepalanya,lalu memberi komando kepada yang lain untuk lebih mendekat.
Perlahan langkah-langkah mereka mulai mendekati sosok yang menurut dugaan mereka adalah sosok Ramlan,lalu tiba-tiba mendadak terhenti ketika sosokk dihadapan mereka melakukan satu gerakan dan kemudian menggeram panjang...”Aaaaarrghh,,,,” mata sang kapten terbelalak menyaksikann sosok yang kini ada dihadapannya. Tubuhnya surut beberapa langkah kebelakang, kini ia yakin jika sosok yang ada dihadapannya adalah Ramlan sahabatnya yang selama ini menghilang. “Ramlan, sadarlah.!!” Pekik sang kapten, pak kiai cepat melompat dan maju kedepan, kedua tangannya dibentangkan seolah tengah membendung sebuah gelombang serangan.
“cepat kalian lindungi kapten Harris, Aryo dan Makmun bantu saya menghadapi roh jahat ini.!!” Pak kiai memberi perintah pada beberapa santrinya.
Kapten harris dipaksa mundur oleh beberapa orang anak buah pak kiai, sementara pak Kiai sendiri bersama dua orang santrinya kiann maju dann merangsek mendekati sosok Ramlan yang kini tengah dirasuki oleh Roh jahat. Sepasang mata Ramlan tampak merah dan memancar penuh kebencian menatap tak bergeming kearah sosok pak Kiai, dari sela-sela sudut bibirnya terus terdengar suara menggeram panjang , air liurnya pun terlihat menetes. Wajahnya pucat dan kaku,dan gerakan tubuhnya yang tak beraturan terus bergerak-gerak seperti seekor harimau,kedua tangan dann kakinya menyatu menyentuh permukaan tanah, membentuk sebuah kaki-kaki yang siap menyerang.
Tanpa banyak kata lagi, pak kiai langsung memburu kearah ramlan dengan mengibaskan ujung kain sorbannya dan bersarang tepat di wajah Ramlan, terdengar pekik panjang dari mulut lelaki yang kini tengah dirasuki roh jahat tersebut. Kedua tangan dan kakinya secara serentak bergerak kearah samping dengan menggulingkan tubuhnya,dan beberapa menit kemudian kembali bergerak dann balik menyerang kearah pak kiai. Seperti seekor harimau Ramlan menyerang kearah pak Kiai dia terlihat terbang dan menerkam mangsanya.
Pak kiai pun tak kalah sigap, secepat kilat ia merundukkan tubuhnya ketika sadar mendapat sebuah serangan balasan, lalu bergeser kesamping seraya berteriak memerintah kedua orang santrinya. “cepat kalian tangkap dan pegangi tubuhnya.!”
Usaha itu berhasil, namun tak berlangsung lama. Karena rupanya tenaga kedua orang santri pak kiai tak sekuat tenaga orang yang tengah kerasukan. Dengan sekali gerakan saja,keduanya terlempar dan berjatuhan ditanah. Melihat kejadian itu, tiga orang dari santri pak kiai kembali datang menyerbu dan berusaha dengan sekuat tenaga memegangi tubuhnya.
Di lain kesempatan pak kiai terlihat geram menyaksikan kedua orang santrinya jatuh tersungkur. Beliau cepat merapal sebuah Do’a lalu melilitkan sebuah tasbih kepergelangan tangan kanannya. Secepat kilat tangan yang telah terlilit tasbih itu, menyentuh ubun-ubun dari kepala orang yang kini tengah kerasukan. Pada saat itulah, ketiga orang santri pak kiai yang tengah memeganginya merasakan tenaga Ramlan mulai melemah. Berangsur melemah,setelah sebelumnya mengejang dan meronta,hingga puncaknya tubuh ramlan pun terkulailemas dan kemudian tak sadarkan diri.
Malam Yang Tak Berujung - Pajar Pagi di Lembah Gantarawang #8
L angit masih saja gelap siang nyaris tak ada ditempat ini,kenapa malam terasa tak berujung,kenapa matahari tak jua kunjung terbit padahal kami sangat rindu sekali dengan kicau burung dan juga kokok ayam jantan. Kehangatan sinar mentari sungguh kami damba,oh.! Tapi kenapa malam tak jua berujung, disini terasa dingin dan sepi, kami menggigil tak kuasa menahann dingin yang menusuk tulang sum-sum.
Suara lolongan anjing dan desiran angin membuat bulu kuduk ini terus meremang kengerian iini ingin rasanya buru-buru ku akhiri, namun malam masih saja tetap tak berujung dan seolah enggan tergantikan oleh pagi.
Perlahan ku perhatikan wajah lelaki yang kini tengah terkulai dihadapan kami, rambutnya bertambah gondrong dan kumal tak terurus, kumis dan bulu-bulu jambang yang tumbuh liar menutup sinar wajahnya. Namun guratan yang ada diwajah itu tidak bisa aku pungkiri, dia memang Ramlan.! Sahabat yang beberapa waktu lamanya telah menghilang. Salah seorang santri pak kiai mengeluarkan sebotol air putih dari balik tas yang dibawanya, lalu memberikannya pada sang guru. Kapten Harris coba menegakan tubuh Ramlan namun pak kiai mencegahnya. “Biarkan saja posisi tubuhnya terbaring di tanah. Saya khawatir akann ada serangan lain yang coba merasuk kedalam tubuhnya…” setelah itu pak kiai berjongkok dihadapan Ramlan dan memercikan air keatas wajah pemuda yang kini tengah tak sadarkan diri itu.
Setelah beberapa saat memercikkan air ke bagian wajahnya, perlahan pemuda ini mulai siuman dan tersadar dari pingsannya. Melihat gelagat seperti itu pak kiai cepat menyuruh beberapa santrinya untuk mengelilingi Ramlan. “kita harus memagari pemuda ini, cepat kita lingkari pemuda ini.!!” Kapten Harris ikut duduk dan dalam lingkaran, sangat terasa olehnya hembusan angin yang sangat menderu-deru disertai lolongan panjang suara anjing yang semakin menjadi-jadi. Membuat nyalinya dipaksa menciut, namun lagi-lagi pak kiai mampu menguatkan hatinya untuk bertahan menghadapi situasi serta keanehan yang mungkin akan terjadi.
Perlahan Ramlan coba bangkit lalu terduduk ditengah lingkaran, wajahnya tetunduk kaku menatap tanah. Saat itulah di luar lingkaran yang kami buat mendadak angin kian bertiup kencang lalu dari putaran angin itu muncul sebuah asap tipis, asap ini mengitari kami untuk beberapa saat kemudian bergerak kebagian atas, disini keanehan terjadi…. Asap tipis itu seperti ingin masuk ketengah lingkaran dimana Ramlan berada, namun sekuat apapun asap itu coba masuk ketengah lingkaran, maka asap itu terpencar lalu menyatu kembali dan kembali coba menerobos lingkaran yang kami buat. Hingga pada akhirnya asap ini menggumpal disebuah titik, dan perlahan membentuk sebuah sosok mahluk yang sangat mengerikan.
Sosok mahluk yang kini berada dihadapan kami bertubuh besar dan hitam mengkelam, matanya merah menyala, dari masing-masing sudut bibirnya mencuat sepasang taring. Seiring penjelmaan sosok mahluk mengerikan itu,mendadak kedua tangan Ramlan bergerak terangkat setinggi dadanya. Apa yang dilakukannya sungguh membuatku ingin muntah, tingkahnya seolah begitu mendamba pada sosok mengerikan itu. Dia seakan begitu haus akan belai kasih dari makhluk mengerikan yang ada dihadapan kami.
Pak kiai terlihat geram, dengan segala tingkah si pemuda yang masih dalam pengaruh mahluk laknat tersebut. Cepat beliau berkata lalu bangkit dan menyerang kearah mahluk mengerikan itu. “…..kalian tetap lingkari pemuda ini, sambil terus membacakan do’a. saya akan menghadapi mahluk ini.!!!”
Lingkaran kembali dirapatkan sambil terus mengalunkan doa-doa, tampak pak kiai mulai melesat menyerang kearah mahluk hitam besar serta mengerikan itu. Mendapat serangan dari pak kiai, mahluk ini gema tertawa. Tawa mengerikan dan berbau kematian,terus menggelegar memenuhi langit malam.
Hujan mendadak turun membasahi bumi, dilangit terlihat kilat menyambar-nyambar, angin menderu-deru menyapu dedaunan dan menerbangkan jauh khayalku menuju sebuah jurang yang mengerikan…..
>> |
Menanti Fajar Pagi Datang - Fajar Pagi Di lembah Gantarawang #9
Basah sudah semua yang terkena siramann airnya, topi yang selalu ku kenakan terlepas disapu anginn kencang yang mendadak datang menderu. Do’a dan bacaan yang kami ucapkan semakin terdengar kencang mengumandang, suaranya membumbung dan menyelimuti lingkaran yang kami buat, ya… setidaknya aku lihat Ramlan tetap terduduk tenang ditengah lingkaran. Sementara itu tidak jauh dari tempat kami berkumpul aku lihat pak kiai kini tengah duduk bersila menghadap kearah mahluk hitam mengerikan itu, matanya terpejam, dan dari mulutnya keluar rapalan do’a-do’a yang seirama dengan putaran butir tasbih yang ada dalamm genggaman tangan kanannya.
“Allahu Akbar.!” Tak berapa lama terdengar pekik pak Kiai ketika ku lihat segerombolann ular berbisa datang mendesis dan menyerang kearah pak Kiai. Kami semua terperanjat kaget bukan kepalang, bulu kuduk ini meremang peluhpun mengucur aku hamper saja tak kuasa mengendalikan tubuh serta pikiranku sendiri. “gila !,ini benar-benar sihir yang bisa membuat gila jiwa orang yang menyaksikannya, bagai mana mungkin pak kiai akan selamat mendapat serangan dari berpuluh-puluh jenis ular berbisa seperti itu, ya Tuhanku, aku benar-benar tak sanggup menyaksikan semua ini…” Tangan kanan pak kiai terangkat berulang-ulang menepis setiap serangan ular-ular berbisa itu, aku bergidik menyaksikan puluhan binatang melata itu.
Ini sihir setan dalam memperdaya manusia, mereka cenderung bisa menciptakan keanehan yang mengerikan seperti itu, serta tidak bisa masuk akal. Ketika setiap kali ingin menyerang pak kiai, mahluk mengerikan itu mengeluarkan beberapa jenis binatang yang mematikan. Namun atas kuasa Tuhan tak satupun serangan dari mahluk mengerikan itu mengenai badan pak Kiai. Gerakann tangan itu dengan mudah menghalau berpuluh-puluh binatang berbisa yang dating menyerangnya, seperti ombak yang bergulung serangan dari mahluk yang mengerikan itu silih berganti berdatangan menyerbu pak kiai.
Hingga ketika ada jeda beberapa detik diantara serangan yang datang, kesempatan itu pun langsung dipergunakan dengan baik oleh pak Kiai, beliau melompat kebelakang dan cepat kembali berdiri dengan sebuah kuda-kuda yang siap balik menyerang.
Kemudian kedua tangannya mulai bergerak saling bergesekan, ku lihat semakin cepat dan kuat. Disinilah aku menyaksikan sebuah keanehan yang terjadi pada kedua telapak tangan pak kiai,dari balik kedua tangan pak kiai itu ku lihat ada sebuah sinar yang keluar, sinar itu berwarna keperak-perakan bersinar menggumpal di kedua telapak tangannya. Lalu bersamaan dengan sebuah pekikan keras, pak kiai mulai mengarahkan kedua tangannya kearah siluman mengerikan itu.
“BLEGAAAAAR.!!!”
Satu ledakan terdengar ketika sinar keperakan yang terlepas dari tangan pak kiai itu terlepas dan meghantam telak tubuh mahluk jejadian mengerikan itu.
Suara jeritan panjang dari mahluk jejadian itu terdengar, suaranya terdengar begitu berat, mengerikan sekali. Bergemuruh dan melengking tinggi bagaikan jutaan kesakitan kemudian hilang dan berganti dengan kesenyapan. Deru nafas kami terdengar saling berlomba menahan ketegangan yang terjadi di depan mata, hujan yang tadi mengguyur kami mendadak berhenti, angin yang bertiup kencang mendadak sirna. Pak Kiai melangkah berjalan kea rah kami, tampak senyumnya terkembang….
Fajar Pagi Di lembah Gantarawang #10
Semuanya seperti mimpi yang sangat mengerikan ketika kapten harris menuturkan semua pengalamannya, aku dan rosita berulang kali harus menahan nafas ditengah alur cerita yang dituturkan oleh kapten harris. Bulu kuduk kami meremang, aku ingin sekali meminta sang kapten untuk menghentikan ceritanya, tapi keinginan untuk mengetahui apa sebenarnya yang telah terjadi selama waktu pencarian begitu meledak-ledak dan begitu kuat, membuat kami tak kuasa untuk menghentikan alur cerita, kami pun melanjutkan untuk mendengar cerita penuh horror dari sang kapten.
"kalian siapa? Dan mengapa menahanku dalam lingkaran ini?" perlahan dia berkata, "kami adalah saudara-saudaramu yang datang dari jauh untuk menjemput dan membawamu pulang," pak kiai menjawab.
"saya Harris! Tidakkah kau ingat?"
dia terdiam, lama dia mencoba mengingat-ingat. Lalu akhirnya menggelengkan kepalanya,
"aku tak ingat atau pernah mengenalmu.!... Tunggu-tunggu, jangan-jangan kalian punya maksud jahat terhadapku?!"
"apa!" benarkah dia berkata seperti itu? Dasar tidak tahu diri. Tunggu, tunggu dulu biarkan kami selesaikan dulu perkataan kami",
"ikutlah bersama kami, disini bukan tempatmu, dunia kita tak segelap ini, tidak 'kah kau rindu pada sinar pagi dan kicauan burung ?" pak kiai berkata, dan membuat lelaki ini termenung.
"ada benarnya apa yang dikatakannya itu, mengapa malam terasa tak berujung. Apakah ini memang duniaku?" Ramlan berkata dalam hatinya, dia tampak memandangi keadaan disekelilingnya, begitu terasa mencekam.
keadaan Ramlan memang begitu menyedihkan, kini ia lebih banyak terbengong sendiri, seolah ada sebagian jiwanya yang hilang dan terampas ketika mengalami tersesat ke dunia siluman. Menurut penuturan pak kiai hal ini akan berlangsung beberapa minggu hingga berbulan-bulan, tergantung pembawaan kejiwaannya.
"ada benarnya apa yang bapak bicarakan tadi, mengapa malam begitu panjang! Padahal aku harus menemui seorang nenek di desa seberang." Ramlan kembali berkata. Pak kiai tersenyum gembira mendengar penuturan si pemuda, perlahan beliau berbisik pada kapten harris.
"nak Harris agar kita bisa keluar dari dunia gelap ini dan juga membawa serta nak Ramlan, caranya hanya satu." sampai disana sang kiai berhenti
"apa itu pak? Bagaimana caranya?"
kapten harris mencecar dengan pertanyaan kearah pak kiai yang kini terus tersenyum sambil mengangguk-anggukan kepalanya sendiri.
"ya! Ya! Hanya jalan itu yang bisa kita coba..." setengah berguman pak kiai berkata sendiri pandangannya tajam menatap ke arah Ramlan, lalu kembali pak kiai berbisik kearah sang kapten.
"kita harus membuatnya tertidur.!" Ooo... Sang kapten termanggut-manggut
"caranya pak kiai?..."
"kita lihat saja!"
Ramlan kini berada di tengah-tengah kami, ia sudah terlihat jauh lebih rapi dari sebelumnya. Rambut serta bulu-bulu liar yang tumbuh diantara cambangnya telah di potong bersih, hanya saja wajahnya masih terlihat pucat, nampak sesekali bibirnya bergetar seperti menahan rasa dingin. Walau begitu rasa bahagia nampak selalu terbersit diantara bola matanya, ya kami pun tahu walau ingatan mengerikan itu telah hilang dari ingatannya namun harus dibayarnya dengan keadaan fisiknya yang menjadi seperti setengah ling-lung. Tenanglah kami semua berada di sini untukmu dan akan menjagamu. Dia kini terlihat tengah meringkuk di atas tempat tidur dalam kamar tamu dirumahnya pak kiai.
"nak Ramlan, ikutilah ucapan bapak. Yakinlah pada kekuasaan Tuhan bahwa tiada daya serta upaya kecuali atas pertolongan-NYA," Ramlan terlhat mengiyakan semua omongan pak kiai, ia pun mengikuti beberapa bacaan dari ayat-ayat al-qur'an yang diucapkan oleh pak kiai. Satu kejadian aneh terjadi ketika beberapa menit ramlan menguap tanda tak tahan melawan rasa kantuknya lalu sedetik kemudian dia jatuh tertidur, detik itu juga satu ledakan besar terdengar keras bergemuruh. Tubuh-tubuh kami berloncatan terhisap oleh sebuah gulungan angin besar, pekik dan teriakan kami lenyap seketika saat tubuh kami berjatuhan menghantam dataran tanah lapang.
Maha suci Allah, sujud syukur kami panjatkan saat itu juga ketika kami semua menyadari kini kami telah berada di tempat dimana pertama kami berkumpul yakni di sebuah lembah. Cepat ku cari dan ku gapai sosok ramlan, aneh dia masih saja tertidur seolah kejadian tadi tak sedikitpun mengganggunya. Ku palingkan wajahku kearah pak kiai beliau tersenyum sembari menganggukkan kepalanya.
Fajar Pagi Di lembah Gantarawang #11
Pagi itu pukul 8 matahari hangat bersinar, kicau burung terdengar dari balik beberapa pohon jambu air yang tertanam berbaris di depan rumah pak kiai. Kepak sayap mereka terlihat lincah ketika berpindah dari satu dahan ke dahan lainnya. Sungguh pagi yang damai, sinar hangat ini menelusuk kerelung hati dan perlahan mengikis kegelapan yang pernah kurasakan, mumudarkan ingatan- ingatan mengerikan beberapa waktu silam. Senyum terkembang menghantarkan hariku menuju sebuah harapan dimana kegelisahan yang lama menghantui kini akan terjawab sudah.
Ada jalan setapak yang bisa ditempuh oleh kami berempat untuk bisa sampai kesebuah pedesaan dimana kedua orangtua ku pernah dilahirkan, ahh...tak sabar rasanya untuk segera bisa mencium udara perkampungan itu. Disini sangat membuatku nyaman, suasana rumah pak kiai yang selalu ramai oleh aktivitas para santrinya membuat diriku lebih cepat melupakan mimpi mimpi mengerikan itu.
Dari beberapa rumah ku lihat bocah-bocah tengah bermain, wajah-wajah mereka diliputi rasa riang gembira, tak ada kepenatan, mereka tertawa lepas mengisi pagi yang hangat ini. Seperti burung-burung di atas pohon jambu itu yang menari nari mengepakan sayap kecilnya.
Beberapa orangtua dengan caping dan cangkul dibahunya berjalan penuh semangat menuju pesawahan dan juga ladang-ladang mereka, tegur sapa diantara penghuni desa terasa begitu tulus. Tak ada kepura-puraan, mereka terlihat hangat menyapa kearahku yang tengah duduk di serambi depan rumah pak kiai.
Tak lama kemudian kapten Harris datang menghampiri, tanpa sepatah kata dia langsung menjatuhkan tubuhnya di atas kursi, perlahan dia terlihat menghela nafas lalu menyandarkan punggungnya kebelakang kursi. Kami berdua sama-sama terdiam, sepertinya tengah sama-sama hanyut menikmati suasana pagi itu.
Sudah satu bulan aku berada disini dibawah asuhan pak kiai, ada yang berbeda pada diriku terutama pada indra keenamku. Mata batin ini kini telah terbuka dan membuatku bisa melihat penampakan beberapa mahluk sakral dengan beraneka wujud. Hal ini terkadang membuatku gila, aku sebenarnya mengharapkan kehidupanku yang dulu. Aku rindu dunia dengan penglihatan yang normal-normal saja, tanpa perlu bertemu dengan mahluk yang aneh-aneh seperti itu.
Perlahan ku lirik wajah sahabatku yang kini berada di sampingku, dia terlihat agak kelelahan. Ya memang dalam beberapa minggu ini dia sudah sering pulang pergi ke kota untuk mengurusi pekerjaannya, tajam dan semakin dalam ku tatap wajahnya. Ingin ku utarakan maksud hati yang mendadak muncul dibenakku, tapi ku urungkan niat itu. Aku yakin akan ketulusan hatinya dan telah kurasakan selama ini, niatnya membantu teman memang dengan sungguh-sungguh ia lakukan.
"beberapa waktu ini saya sering mengalami keanehan. Terutama jika sudah masuk kedalam ruang kerja saya, saya merasakan ada sesuatu yang terus memberi pertanda kepada saya. Namun sayang sipemberi tanda itu tak bisa saya lihat."
Tiba-tiba keheningan dipecahkan oleh suaranya.....
"maksudmu...sipemberi tanda itu hantu?"
Kapten Harris berpaling kearah ku, tatapan matanya terasa penuh keanehan ketika mendengar aku mengucapkan kata hantu kepadanya. Aku tahu dia tipe orang yang tidak percaya dengan sebangsa hantu, jin ataupun mahluk halus lainnya.
"maaf.! Jika aku salah mengira."
"Tidak, tidak.! Kau benar Ramlan, sepertinya kali ini memang ada hantu diruang kerja saya."
Hah! Aku tak percaya ternyata dia mempercayainya juga,
"Ajaklah aku untuk melihat ruang kerjamu!"
"Apa?! Hey, tunggu dulu sejak kapan kau jadi seorang cenayang? Sejak kapan kau mampu melihat mahluk-mahluk abstrak seperti itu."
Kapten Harris tertawa sendiri mendengar usulan itu, memang aku sendiri pun kurang yakin apakah hal atau kejadian aneh yang pernah kujumpai belakangan ini memang karena aku bisa melihat hantu, atau hanya suatu kebetulan apes saja.
"Sudahlah! Aku tak ingin membahasnya. Tapi jika penasaran kau bisa menanyakan hal ini pada pak kiai."
"Boleh juga, besok-besok saya akan mengajakmu mengunjungi ruang kerja saya. Tolong dibantu ya mbah!?."
Kami sama-sama tertawa di depan teras rumah pak kiai, dan tak terasa hari mulai bertambah terik tanda pagi sudah mulai berlalu
kini siang mulai membakar dengan teriknya, beberapa orang ibu terlihat sibuk menggelar padi untuk dijemur ditepian jalan, berkali-kali suara dan hentakan tangannya terlihat mengusir ayam-ayam yang hendak coba mematuki butir-butir padinya.
..:::TamaT:::..
Tinggalkan balasan