Semua Tentang Cinta #1
Matahari pagi bersinar, burung-burung terdengar merdu berkicauan, seekor kumbang terbang dan hinggap kemudian menghisap kembang jambu yang bermekaran. Perlahan ku buka tirai jendela kamarku, kulihat ibu tengah menyapu halaman rumah mengumpulkan dedaunan yang terjatuh karena dimakan usia. Hari ini adalah minggu pagi, dimana sebagian orang bisa berleha –leha serta bermalasan setelah enam hari bekerja. Tetapi niat seperti itu aku urungkan aku tak tega melihat ibu bekerja sendiri membersihkan halaman rumah.
“Sudahlah, tidak apa-apa ibu tidak usah dibantu.” Ujarnya, ketika ku coba mengambil pengki dan hendak menyedok gundukan sampah dedaunan. “Sudah.! Kamu didalam saja, biar ini ibu yang membereskannya.”
Sepanjang perjalanan menuju pemakaman, aku dan ibu banyak mengobrol, dengan begitu kemacetan dijalan tidak terlalu ku pikirkan. Aneh memang, dan juga tidak seperti biasanya. Dihari minggu yang biasanya tidak begitu macet, kini mendadak terjadi antean kendaraan.
“Bagai mana hubungan mu dengan Andini?” ibu bertanya mengenai hubungan ku dengan Andini. “Baik saja bu.!” Jawab ku. “Kok jawabannya singkat sekali. Kapan kamu mau melamarnya.?” Pertanyaan inilah yang selalu ada dalam benakku, kini ibu menanyakannya. Sejenak aku tersenyum kecil kearah ibu.
“Kenapa senyum seperti itu.?” Ibu kian mencecar dengan pertanyaannya. “Aku pribadi sudah siap bu. Tapi kondisi keuangan Ramlan sepertinya belum memadai untuk saat ini. Ditambah lagi dengan cicilan angsuran mobil baru ini.” Ibu terdiam, pandangan matanya asyik mengawasi beberapa pengendara motor yang menyalip diantara kemacetan.
Tak lama kemudian ibu berkata kembali, “bagai mana jika ibu ikut membantu, untuk mengangsur kredit mobil ini.?” Aku kaget mendengar ketulusan yang ibu utarakan, tetapi cepat ku tolak. Aku tak ingin membebani ibu. “Tidak bu, Ramlan tidak ingin membebani ibu. Dan berita bagusnya Andini juga setuju, jika pernikahan kami tunda dahulu. Karena Andiini sendiri pun, masih ingin menyelesaikan kuliahnya terlebih dahulu. Kami akan sama-sama menyisihkan sedikit demi sedikit uang untuk ditabung.”
“Wah, kalian berdua memang pasangan yang tak mau merepotkan.” Ujarnya. “iya bu. Itu memang sudah komitmen kami berdua.” Ibu Nampak ikut senang mendengar penuturan ku, tak terasa kami pun sudah tiba didepan pemakaman umum.
Lalu tak berapa lama kemudian, kami berhenti di sebuah kuburan yang berkeramik putih. Diatas batu nisan tertulis sebuah nama, HASAN SOBARI. Ibu berjongkok didepan gundukan tanah itu, dimana jasad suami yang beliau cintai terbaring. Lau bunga-bunga ditaburkannya diatas pusara kuburan, ku ikuti gerakan ibu dengan membasuhkan air kesepanjang pusara.
Lalu dengan penuh khidmat kami berdo’a. Semoga dosa-dosa almarhum diampuni, dilapangkan dalam kuburnya dan dijauhkan dari siksa-NYA. Ayat –ayat suci kami bacakan, ayat demi ayat terlantun hingga kami akhiri dengan sebuah do’a penutup.
Aku dan ibu untuk beberapa saat terdiam, didalam benak kami masing-masing. Aku terbayang kembali wajah bapak ketika beliau mencariku kerumah bibi, hingga peristiwa penembakan yang dilakukan oleh Anton, sahabat waktu aku kecil. Disaat itu kesedihan dan kesengsaraan datang silih berganti menerpa hidup ku. Membuat aku selalu bertekad bahwa untuk saling mengasihi dan menyayangi itu sangatlah mahal harganya. Memupuk kasih sayang bagaikan menepuk air dalam belanga. Semoga Tuhan selalu memberi kekuatan pada diri ini, agar tak bosan untuk memelihara rasa cinta damai antar sesame dan terhadap makhluk lainnya.
Tak lama kemudian aku berdiri dan memundurkan tubuhku kebelakang, ku buka payung dan menempatkannya diatas kepala ibu. Beliau masih tertunduk didepan pusara kuburan suaminya, seperti ada sesuatu yang hendak ia utarakan pada gundukan tanah berkeramik putih itu, dimana jasad suami yang dicintainya terbaring.
Semua Tentang Cinta #2
Langkah-langkah kecil dan riang ku ayun berirama dengan gerak kakinya, tangannya yang melingkar membuat aku selalu ingin menyandarkan kepalaku pada sebagian bahu tubuhnya. Harum aroma keringatnya membangkitkan gairah, disana di kawasan nan sejuk dan juga dingin, tak henti-hentinya tangan kami saling berpegangan . penuh kemesraan dan seakan taka da yang mengganggu kami pun kian larut dalam perasaan cinta dan juga hasrat.
Hari ini sepulangnya aku dari tempat ku kuliah, ku lihat dia sudah berdiri menanti. “Hei, kenapa tidak telpon dulu kalau mau jemput.” Ujarku padanya. “Sengaja !,aku ingin mengejutkan mu.” Setelah berkata seperti itu, dia Nampak tersenyum kepada ku. “Kamu tuh ya.! Tapi, kamu berhasil sih, mengejutkan aku.” Kata ku.
“Hari ini tuan putri mau langsung diantar pulang atau mau keliling kota terlebih dahulu.?” Aku tersanjung dengan ucapan dan juga tingkah lakunya. Sambil mencubit kecil tangannya dan memelototkan mata ini, aku berkata padanya. “Mhh…aku mau keliling-keliling dulu.” Setengah meringis dia menahan cubitan ku, lalu dia berkata. “Silahkan, pedatinya ada di sebelah sini.!”
Aku tertawa kecil, tak kuasa menahan tawa melihat tingkahnya. Sambil setengah membungkuk tangan dan jempol kanannya menunjuk ketempat parkiran. Segera saja ku gandeng tangannya, sambil setengah menyeret tubuhnya untuk bergegas meninggalkan tempat itu.
Dan tak lama kemudian, mobil pun sudah menderu dan melaju ditengah jalann raya. Aku tak henti-hentinya memandangi wajahnya, hingga posisi duduk pun ku rubah lebih menghadap ke si pengemudi. Ya Tuhan…! Begitu gantengnya dia, aku membatin dalam hati. Hidungnya yang mancung, matanya yang berbinar serta rambutnya yang setengah gondrong dibiarkannya tak tersisir, membuat hati ku semakin tak kuat menahan dorongan hasrat ini.
Cepat ku majukan wajahku, dan mendaratkan kecupan kecil ke pipi kirinya. “Terima kasih.” Kata ku. “Untuk apa.?” Dia Nampak kebingungan, “Untuk hari yang indah ini !” kata ku lagi. “Aku sebagai seorang kekasih dan juga sekaligus teman dekat mu, akan selalu berusaha untuk membahagiakan mu. Dan menurutku sudah sepantasnyalah, kita untuk saling mengisi, dan saling membahagiakan.”
Mendengar penuturannya itu, aku pun balik bertanya kepadanya, “Kamu senang dekat dengan ku?” dia mengangguk, “Kamu cinta sama aku?” kembali dia menganggukkan kepalanya, “jika aku mati, apakah kamu akan ikut mati…?” sekarang dia menatap penuh serius kearah ku, sesaat memperhatikan jalanan, dan kembali menatap kearah ku.
Tak lama kemudian satu ekspresi terlihat dalam wajahnya, giginya mengatup rapat-rapat, kemudian tangan kirinya menyerang kearah perut ku. Lalu menggelitiki area perut ku, aku terkekeh sendiri tak tahan menerima gelitikan tangan darinya. Kemudian dia melepas gerakkan tangannya, dan kini beralih kearah kepala ku. Diacak-acaknya poni rambut ku yang memang tak ku sisir dengan rapi.
“Sudah kita pulang saja yuk.!” Ajaknya, “Aku masih ingin diluar, belum mau pulang.” Ditepikannya mobil yang kami tumpangi, kemudian dia berkata. “Aku sudah tidak punya ide lagi untuk pergi kemana.!” Sejenak aku termenung dalam mobil, dan tiba-tiba aku teringat dengan villa milik Papa. Maka aku pun mengusulkan untuk mengajaknya pergi kesana. “Bagai mana jika kita ke villa papa ku.?” “…kuncinya? Bagai mana kita bisa masuk?”
“Tenang saja, disana ada mang Ajat yang menjaga dan merawat Villa.” Kata ku lagi. “Jika maunya tuan putri seperti itu, aku siap mengantar.!” Ujarnya, dan ku sambut dengan tawa ku. Aku merasa begitu bahagia jika bersamanya, gelak tawa ku hampir selalu terdengar. Aku tak mengerti dengan perasaan ku ini, begitu bergejolak walau sebenarnya aku merasa bersalah sekali karena telah membohongi Ramlan.
Pemuda itu tidak bisa berbuat banyak untuk urusan kesenangan ku, dia lebih banyak melarang jika dirasa olehnya tak memberi manfaat. Walau terkadang memang ada benarnya apa yang selalu dilarangnya itu. Tapi kini aku sedang bahagia bersama pemuda lain yang dimata ku kini ia begitu sempurna.
“Hei.! Koq malah bengong.!” Ucapnya, aku tak menyadari jika ternyata dia sedang memperhatikan tingkahku. “Awas lho, kalau suka bengong nanti cepat mati…” dia mulai menggodai aku, “Ayam tetangga di rumahku seperti itu, karena sering bengong tak lama kemudian dia mati…!” sambil tertawa dan memukul dadanya, aku pun berkata,” Ihh.., kamu jahat. Masa aku disamakan dengan ayam tetangga mu itu.!”
Perjalanan pun tak terasa sudah membawa kami keluar jauh dari kota kelahiran ku, didalam mobil, kami terus saling menggodai satu sama lainnya. Aku terperanjat dan tersadar ketika handphone ku berbunyi, Ramlan menelpon ku. Tetapi cepat ku Riject dan aku lebih memilih menon-aktifkannya, aku tak ingin diganggunya setidaknya untuk saat ini. Maafkan aku…
“Lho, kenapa tidak diterima panggilan telponnya? Siapa tahu ada hal penting.” Dia bertanya, sambil tersenyum. Aku mengatakan padanya tidak penting, lalu dengan menunjuk pada sebuah belokkan aku mengalihkan perhatiannya. “Di depan belok ke kanan Di, kita sudah hampir sampai.!”
Semua Tentang Cinta #3
Gemericik air yang jatuh dari shower kamar mandiku membawa lamunanku terbang kepada sosok dua orang pemuda yang kini tengah menggerogoti pikiranku. Ku tengadahkan wajahku dan merasakan belaian air yang tercurah, kedua tanganku gemulai memainkan rambutku yang mulai basah, aku mengelusnya dari pangkal hingga ujungnya. Sesaat kemudian ku hembuskan nafas lewat mulutku, Nampak titik-titik air yang yang berloncatan karena terdorong oleh nafas dari mulutku. Perlahan tangan ini merayap kebagian bawah dari tubuhku, kuusap leherku mulai dari depan hingga belakang, penuh penghayatan jari-jemariku mengusap pada area leher.
Lalu turun dan menyusuri tiap lipatan kulit dibagian depan tubuh ini, untuk beberapa saat jemari tanganku berhenti pada dua gundukan buah dadaku. Lalu ku elus dan terkadang sedikit meremasnya, ada sesuatu yang ku rasakan dan terasa mengganjal dalam diri ini. Membuat nafasku sedikit tersengal. Cepat ku akhiri gerakan mengelus dan meremas ini, karena semakin lama membuat angan-anganku kian melambung jauh dan membawa ingatankupada gerak liar penuh nafsu yang pernah aku rasakan beberapa waktu lalu ketika bersama Andi.
Perkenalanku dengan Andi terhitung sangat singkat, hanya satu bulan dan akhirnya dia menyatakan perasaannya padaku. Dan seolah dia mengetahuinya, jika aku tak akan berani menolak cintanya, dia pun mengutarakannya ketika sampai didepan rumahku.
Saat itu aku sungguh bimbang, karena bagai manapun aku akan menyakiti perasaan Ramlan yang sudah begitu mantap menjalin keseriusan hubungan denganku. Dan aku mengenalnya bukan hanya sekedar sebulan atau dua bulan, sudah bertahun-tahun aku mengenal Ramlan. Dia memang lelaki yang setia dengan cintanya.
Kini aku telah mengkhianatinya dan menduakan cintanya, aku tak mengerti dengan perasaanku. Harusnya aku bisa untuk memutuskan memilih salah satu diantara mereka berdua, bukannya membagi waktu dengan mereka berdua. Aku takut suatu saat permainan gilaku ini mereka ketahui, aka nada yang merasa sangat tersakiti.
Perlahan aku mulai mengurangi kebersamaan ku dengan Ramlan, dia begitu percaya dengan alasan yang aku utarakan mengenai kesibukkanku selama aku menjauh darinya. Cukup.! Harusnya aku mengakhiri sandiwara yang aku lakukan ini, tapi lagi-lagi aku tak kuasa untuk mengambil keputusan. Jalan itu selalu buntu dan berujung dengan kata ‘aku tak bisa’ dan tak bisa.! Benar-benar tak bisa. Karena Ramlan tak pernah bermain curang terhadapku.
Sungguh aku tak mengerti dengan cinta ini, mengapa aku harus merelakan kehormatan yang selama bersama Ramlan selalu aku jaga. Tetapi bersama Andi, justru sebaliknya. Dan kini aku merasa khawatir jika kedepannya Andi merasa bosan dan kemudian meninggalkanku, aku tak ingin mengalaminya dan hal seperti itu jangan sampai terladi. Kembali kuyakinkan diri ini, jika Andi tak akan berlaku seperti itu. Bukankah dia sangat mencintaiku.? Dan aku yakin itu…. Edan.! Cinta sungguh membuatku menjadi gila karenanya.
“Kriiiiiiiiiiiiinggg.!” Lamunanku pun buyar, ketika ku dengar handphone ku berbunyi. Cepat ku sambar sebuah handuk dann melilitkannya pada tubuh ini, ketika ku tengok layar Handphone ternyata Andi yang menelponku, cepat-cepat ku angkat panggilan itu.
“Sayang, kamu dimana.? Aku didepan kampus kamu nih !.” aku tertawa kecil mendengar perkataannya, mengapa dikiranya hari ini aku kuliah. Padahal tadi pagi aku mengabarkan kepadanya, jika hari ini aku membolos. “Aku dirumah An, kamu ngapain ke kampusku? Bukankah tadi pagi aku sudah mengabarkannya melalui SMS yang aku kirim.”
Dari seberang terdengar perkataan Andi yang serba salah karena menurutnya dia merasa tidak menerima SMS seperti itu. “Sudah, kamu ke rumahku saja ! jangan uring-uringan seperti itu didepan kampusku.” Sambil menyudahi pembicaraan, aku tertawa kecil membayangkan kelakuannya. Lalu setelah itu ku kirim sebuah SMS dengan kabar yang berisi sebuah kata-kata agar dia jangan sampai kedepan rumah. “Tunggu didepan gerbang saja ya An, nanti aku menyusul.” Tak lama kemudian satu balasan SMS masuk kedalam kotak pesan, ketika kubuka dia berkata “Ok.!”
Aku merasa belum siap memperkenalkan Andi pada keluargaku, untuk saat ini. Memang sih, terkadang Mama suka bertanya jika Andi mengantarkan aku sampai didepan rumah, ketika sepulangnya dari kampus. Namun selalu ku jawab jika dia teman kampus yang kebetulan satu arah denganku. Mamaku orangnya tak mau ambil pusing, jika aku berkata seperti itu maka Mama berlalu begitu saja.
Semua Tentang Cinta #4
Namaku adalah Sujatmiko Andi Pratama, panggil saja aku Andi. Umurku 28 tahun anak tunggal dari keluarga bapak Soenato, seorang pengusaha Ekspedisi. Sedari kecil hingga kini keinginan ku selalu dipenuhi dan diturut oleh kedua orang tuaku, yang akhirnya membuat kepribadianku selalu terkesan manja dan ogah capek. Aku sebenarnya terlalu takut dan juga bernyali kecil untuk menjalin sebuah hubungan yang serius dengan seorang wanita, karena itulah hingga diusia ku yang genap kesekian ini aku masih melajang. Wajahku lumayan ganteng, dengan status sosial yang terpandang membuat banyak para Gadis yang menginginkan untuk menjadikan mereka sebagai Istriku.
Kedua orang tuaku pun berharap agar aku untuk segera membina rumah tangga, dan melanjutkan jejak ayah yakni mengurus perusahaan ekspedisinya. Secara keseluruhan masa depanku sudah begitu sempurna, tetapi karena gaya hidup dan pergaulanku yang terlalu bebas aku jadi lebih senang hanya menghambur-hamburkan uang mereka.
Ada yang bilang dengan uang orang bisa melakukan apa saja, sepertinya itu berlaku untuk diriku. Aku ogah berpikir keras hanya untuk mendapatkan sesuatu yang aku inginkan, selama aku masih bisa meminta dan kedua orang tuaku pun menuruti, maka aku akan meminta. Tak peduli seberapa kesukaran yang mereka alami, aku hanya tahu semua itu harus ada.
Tetapi tidak demikian dengan Andini, kami jauh bertolak belakang mengenai cara berfikir. Gadis itu inginkan yang lebih dari apa yang telah aku berikan selama ini. Hal itu membuatku sedikit terganggu, tetapi jangan panggil namaku Andi jika aku tak bisa mengatasi gadis seperti dia. Aku bukan sekali dua kali menjalin hubungan dengan gadis semacamnya, akan kutundukkan dengan pesona yang aku milikidan setelah itu mungkin aku bisa kembali mendekati Rosita, teman kampusnya yang imut itu. Aku berani bertaruh Rosita diam-diam menyukaiku, karena disetiap aku menjemput Andini dikampusnya itu dia selalu curi-curi pandang kearahku.
Hari ini aku lebih memilih diam dirumah, karena badanku terasa capek sekali setelah kemarin menghabiskan waktu bersama Andini di Villa papanya itu. Sejenak aku merenung…lalu terbersitlah sebuah Tanya dan membawaku pada sebuah kecurigaan. “sejauh ini, mengapa dia tak pernah mengenalkan aku pada keluarganya. Aku menduga dia pasti sedang menyembunyikan sesuatu dariku.? Atau dia malah sengaja menyembunyikann hubungannya denganku. Tetapi untuk apa.?” Itulah suatu kecurigaan yang mendadak melintas dalam benak ini, sambil kembali merebahkan tubuh aku tersenyum,………karena jujur saja aku seperti menemukan sebuah alasan yang tepat untuk mencari kesalahannya.
Kuraih handphone yang tercecer diatas tempat tidur, ketika kulihat didalam layar sudah ada lima belas panggilan tidak terjawab dan dua puluh SMS yang masuk. Semua dari nomer Andini.! Kubaca satu persatu SMS(pesan) yang masuk, aku tak begitu tertarik untuk membalas isi dari SMS yang dikirim olehnya. Hari ini aku sengaja mengaktifkan handphone tetapi tanpa getar dan juga rington, ku set pada pilihan silent biarlah besaok lusa aku baru menghubunginya.
Kucoba untuk memicingkan mata untuk beberapa saat, aneh.! Justru ketika mata ini terpejam baying-bayang wajah Rosita mendadak menari-nari dalam pelupuk mataku. Akupun bangkit dan duduk ditepian tempat tidur, ku lirik Handphoneku, dan sesaat kemudian aku sudah menggenggamnya. Kubuka- buka nomer kontak dalam handphone, dan jariku berhenti ketika menemukan sebuah nomer berikut namanya. “ROSITA” gadis manis yang sekaligus sahabat dekat Andini.
Aku terbayang kembali saat-saat mendapatkan nomer teleponnya ini, ….dengan berpura-pura tidak menerima pesan SMS dari Andini, diam-diam aku mendatangi kampusnya. Hari itu aku sengaja ingin bertemu dengan Rosita, dengan berdalih mencari Andini yang memang hari itu dia tidak masuk kuliah. Akupun menemui Rosita, dan benar apa yang aku pikirkan selama ini, gadis itu menaruh hati padaku.
Selama berbasa basi itulah aku mendapatkan nomer telponnya dan juga memperhatikan gerak –gerik serta kecantikan wajahnya. Dan kini tanpa basa-basi aku langsung menekan nomer telpon miliknya, satu kali tidak ada jawaban. Kuulangi menekann kontak pada handpone dan akhirnya satu suara dengan setengah gugup menjawab panggilan teleponku. “Ha, hallo…Andi.!” Sahutnya.
Semua Tentang Cinta #5
Tanpa rasa curiga aku banyak bercerita tentang Andi kepadanya, karena memang tanpa aku sadari pertanyaan serta rasa keingin tahuannya, ternyata membawa kesenangan tersendiri untuk kuceritakan padanya. Cerita-cerita itu ku bumbui dengan candaan hingga Rosita kadang terkekeh mendengar lelucon yang aku keluarkan, tiba-tiba dia berhenti tertawa dan menanyakan tentang Ramlan dan membuatku terdiam, “hubunganmu dengan Ramlan bagai mana.?”
Pertanyaan dari Rosita membuat jalan cerita tentang Andi jadi mendadak terhenti, mulutku terbuka hendak menjawab tetapi mendadak dari arah depan Andi datang sambil berseru kearah kami berdua. “hai, hai Sita.! kalian sudah lama menunggu disini.?” Tanyanya, “belum lama koq.!” Jawab Rosita mendahuluiku, …ada getar yang tidak biasanya aku rasakan ketika melihat tingkah Rosita dihadapan Andi, aku yakin itu.
Tetapi cepat kutepiskan, tidak mungkin.! Dia adalah sahabat baikku dann tidak mungkin dia berani menikamku dari belakang. Aku tidak boleh terbawa oleh perasaanku sendiri, setelah mengeluarkan suara mendehem perhatian mereka berdua pun tertuju padaku. “ehem..! Mas ayo kita pergi.!” Seolah disengaja atau tidak kulihat kerutan kecil diatas dahinya, menandakan dia merasa terganggu. Lalu kerutan kecil itu cepat menghilang, dan berganti dengan senyum ia mengangguk kecil kearahku. “Ta, aku pergi duluan ya.!” Sambil cepat menggandeng tangan Andi, Nampak dia melambaikan tangan pada Andi. “ok.! Hati-hati dijalan ya…!”
Didalam mobil kami lebih banyak terdiam, entah kenapa saat itu kami seperti sedang sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Aku lebih terbawa pikiran akan tingkah sahabatku, Rosita. Serta pertanyaannya tentang hubunganku dengan Ramlan. Uphhh….! Dalam hati aku menarik nafas panjang, kemudian sebentar saja aku melirik kearah Andi, dia masih mengemudi sambil sesekali matanya melirik kearah kaca spion.
Aku ingin sekali memecah kesunyian ini, tapi aku masih berharap dia mau memulainya seperti biasanya. Lagu demi lagu terputar dalam audio mobil, bukan keceriaan yang aku dapat dari irama dan lantunannya, kecemasan tetap tak mau pergi dari pikiranku ada apakah gerangan ini.?
Kulirik Handphoneku yang berada dalam tas, disana ada lima panggilan tak terjawab. Ketika kupastikan, ternyata Ramlan yang menghubungiku. Kecemasanku kian menjadi, aku merasa bersalah sekali telah membiarkan Ramlan seperti itu, dan menyia-nyiakan ketulusan hatinya. Aku harus mengakhiri ini semua anggaplah aku bukan yang terbaik untuknya.
Ku alihkan pandanganku pada Andi, dia Nampak tersenyum ketika pandangan kami beradu. Aku sudah yakin dengan keputusan ini, aku akan menyelesaikan serta mengahiri hubunganku dengan Ramlan dan tak menggantungnya seperti ini. Dibalik senyuman itu aku benar-benar menemukan keyakinanku dan kian memantapkan langkahku bersama Andi.
“Andini, aku sayang sama kamu!” Mendadak suaranya keluar dan memecah kesibukkan lamunanku, jujur bukan sekali dua kali aku menerima pujian seperti itu. Tetapi kali ini ditengah berkecamuknya pikiranku, benar-benar seperti mendapat sebuah sokongan. Aku bahagia dan kecurigaanku akan tingkah Rosita seketika itu sirna sudah.
Tanpa berkata sepatah katapun kugenggam tangan kirinya, dia tersenyum, lalu diangkatnya pegangan tanganku dan dikecupnya penuh kelembutan. “Mas, kapan-kapan kenalin aku sama keluargamu dong.!” Ujarku, ketika tangan ini telah menjauh dari wajahnya. “kamu mau khan.? Mengenalkan aku pada keluargamu.” Ujarku lagi. “tentu, tentu saja.! Aku pasti akan mengajakmu dan memperkenalkan pada keluarga besarku.” Aku tersenyum mendengar kata darinya, sambil mengangguk kecil kembali aku berkata, “bagai mana jika sekarang Mas, aku kenalkan pada kedua orang tuaku.?”
Andi terlihat gugup, dia terdiam untuk beberapa saat. Setelah menemukan jawaban diapun berkata, “apa tidak terkesan terlalu mendadak.?” Kemudia dia melanjutkan, “maksudku, apa tidak terlalu mendadak.!?” Aku menangkap satu isyarat dari perkataannya, jika dia belum siap untuk mengenal keluargaku. “tidak apa-apa, jika mas belum siap.mungkin bisa kita rencanakan dilain hari.”
Laju mobil mulai melemah ketika mulai mendekati pintu gerbang perumahan dimana aku tinggal, dan tak lama kemudian ke-empat roda mobil benar-benar terhenti. “Aku sedang malas jalan kaki mas, antar sampai depan rumah ya ..!” sambil berkata seperti itu aku berharap Andi mau mengantarkan aku hingga depan rumahku. “Ya sudah kalau maunya tuan putri seperti itu.!” Ujarnya, aku senang mendengar ucapannya dengann begitu aku akan mengajaknya masuk dan membuatkan teh manis hangat kesukaannya. Mama papa kemudian datang,dan aku akan memperkenalkan Andi pada keluargaku.
Tetapi bayangan seperti itu ternyata harus aku buang jauh-jauh, karena belum juga sampai didepan rumah tiba-tiba Handphone Andi berbunyi. Dari pembicaraannya aku menangkap kabar kurang baik dari salah satu sahabatnya, “ada apa mas.?” Tanyaku, “maaf An, aku harus buru-buru kerumah sakit, ada salah seorang temanku mengalami kecelakaan.” Raut wajahnya terlihat panik, “mas, tidak mau masuk dahulu.?” Aku masih beharap dia mau masuk dan duduk dulu didalam rumah. “aku harus cepat sampai dirumah sakit An,…lain kali ya.!”
Membingungkan, hanya itu yang ada dalam pikirku. Mengapa dia begitu panik ? siapa sebenarnya sahabatnya itu ? ahhh…… aku sudah ingin beristirahat, aku merasa letih. Dari dalam rumah Mama keluar, beliau tersenyum dan kemudian berkata dan membuatku benar-benar kaget. “baru pulang Din?, tadi Ramlan datang lho ! dia lama nunggu, kamu juga ditelpon tapi tidak dijawab !.” “sekarang mana dia ma…?” aku bertanya pada mama. “baru saja pulang. Katanya dia ada meeting dikantornya!.” …….”Kenapa ?!.” mama balik bertanya, aku tidak mengerti dengan pertanyaan mama, “apanya ma??.” “kenapa mukamu jadi pucat seperti itu ?.” bagai manapun aku tidak bisa menyembunyikan kekagetanku, “tidak apa-apa mah, …Andini masuk dulu ya !?.” langsung aku tinggalkan mama didepan teras seorang diri, bersama raut wajah rasa herannya itu.
Semua Tentang Cinta #6
Semenjak aku kecil aku telah terbiasa bekerja keras membantu paman berjualan dipasar, disana aku pun belajar bagai mana cara mendapatkan serta mengeluarkan uang untuk sebijak mungkin. karena untuk sebagian orang ada yang merasakan bagai mana serta betapa sulitnya mencari uang ditengah persaingan yang kian menggila. Tak jauh berbeda dengan keberadaan beberapa kelompok pemuda yang kini tengah mencoba mengurai kemacetan disebuah jalan perputar balikkan. Mereka mengais recehan dari para pengendara mobil, setelah berhasil meloloskan mobil mereka , maka recehan itu akan didapatkannya. Itu pun tetap ada jika kemurahan hati dari para pengemudi serta belas kasihan masih menyertai para pengendara karena tidak sedikit yang hanya melambaikan tangan saja tanda mereka tidak memberi.
Mungkin inilah roda kehidupan, kadang berada diatas terkadang berada dibawah. Segala pemberian Tuhan adalah anugerah seperti juga cinta kasih baik itu pada kedua orang tua, kekasih, sahabat dan pada sesama. Aku tak pernah membenci pada cinta, karena pada dasarnya cinta itu adalah suci. Tetapi karena tingkah laku dan pembawaan masing-masing penerima anugerahlah yang menyebabkab cinta menjadi dibenci oleh sebagian orang. Dari sana terlahirlah patah hati, kecewa, dendam dan banyak hal lainnya.
Jika pengkhianatan terjadi dan berlaku pada diri ini, aku hanya akan mencoba bercermin pada diri ini, menginstropeksi segala hal yang kurang dari diri ini. Walau sesungguhnya jauh didasar hati ini kadang aku ingin sekali berteriak dann memaki pada keadaan yang jalang, yang telah menelurkan bibit-bibit lacur berbau prostitusi. Tetapi Tuhanlah pemilik segala rencana, aku tak akan kuasa dan tak berdaya sama sekali untuk melawan garis dan kehendak dari Sang pemilik kehendak.
Mungkin aku memang bodoh, tak bisa memaksakan kehendak dan mengumbar keserakahan duniawi saat usia petualangan mudaku memuncak, harus berpegang pada landasan norma-norma. Yang kadang membuat jengah.! Tetapi tidakkah kamu mengerti? Tidakkah kamu fahami.? Ini semua kulakuakan demi terbaik untukmu, untukku, untuk kita semua !. aku ingin kita bahagia bersama dan itu murni kita rasakan tanpa ada cela apalagi nista.
Selama sekembalinya aku dari rumah Andini, sepanjang perjalanan pulang menuju kamarku yang gelap, baying-bayang serta aroma perselingkuhan santer menyerang kalbuku. Apa yang telah kusaksikan ingin sekali kutepiskan dan berkata dalam hati dengan begitu entengnya “ahhh….itu bukan dia,” namun sayang naluri ini tak bisa kubohongi. Itu adalah wujud serta sosokmu yang berbaju pink, bersama pemuda lain dalam sebuah mobil asmara gilanya.
Sesulit apapun untukku tautkan, ternyata serpihan-serpihann kata yang pernah diucapkannya sekarang menggelinding dengan sendirinya kehadapanku. Semoga ini menjadi jalan yang terbaik untuknya, senantiasa berbahagia bersama tambatan hatinya. Cepat kupijak pedal gas ketika lampu mulai menyala hijau, kerumunan berpuluh jenis kendaraan merayap pelan melewati lampu merah disebuah perempatan kota. Sebentar lagi aku akan sampai dirumah.
Temaram lampu menyinari pekarangan rumah saat itu pukul 18.15PM, ketika aku tiba. Dengan bermukena putih ibu membukakan pintu untukku, dipandanginya wajahku dan seakan pada wajah ini terlukis sebuah kekecewaan, hingga ibupun menyaksikannya. “Ada apa nak? Kenapa wajahmu murung seperti itu.?!” Aku terdiam sejenak, dalam hati aku bersyukur sekali karena masih ada orang yang peduli dan memperhatikanku. Beliau adalah ibu angkatku, yang kini sama sebatang karanya dengan aku. “Andini bu.” Jawabku singkat,
“Kenapa dengan Andini? Apa dia baik-baik saja.!” Akupun mengangguk. “Dia baik-baik saja bu,” “Lalu kenapa kamu bersedih seperti itu nak?” kembali ibu bertanya padaku, “Dia sudah…tidak cinta lagi padaku.!” Mendengar penjelasanku itu, ibu terdiam. Kemudian ditepuknya pundak ini dan beliau berkata, “Yang sabar ya nak.cinta memang penuh pengorbanan, mintalah petunjuk pada Yang Kuasa jika memang Andini adalah jodohmu, dekatkanlah padamu.” Ibu coba menghibur. “iya Bu.!” Jawabku. “sudah sekarang Maghriban dulu, mumpung masih ada waktu.” Akupun berlalu dari hadapan ibu, setelah berwudhu dan melaksanakan shalat tiga Rakaat aku berdo’a pada sang pencipta langit dan bumi.
Semua Tentang Cinta #7
Aku terharu mendengar penuturan dan cerita dari ibu, ternyata beliau bersama bapak mempunyai jalan cerita cinta yang begitu berliku. Namun karena perjuangan serta pengorbanan bapak, yang akhirnya mempersatukan mereka hingga kini. Jam delapan malam itu ibu bercerita, beliau mengisahkan perjalanan hidup serta kisah cintanya. Ada pengalaman berharga yang bisa ku ambil dari penuturannya, dan dari sana akupun berkesimpulan, selama janur kuning belum melambai di depan rumahnya maka cinta sejati ini harus tetap diperjuangkan. Pengorbananku belumlah berakhir , aku berjanji pada diriku sendiri akan mencontoh perjuangan almarhum bapak selama terpisah jauh dari ibu angkatku ini.sambil mendengarkan penuturannya tak henti-hentinya aku membayangkan Andini, paras cantiknya kadang tersenyum dan kadang terlihat acuh padaku.
Malam kian larut sudah hampir jam Sembilan, barulah kami pergi ke kamar masing-masing. Diakhir ceritanya ibu selalu berpesan padaku, agar terus memperjuangkan cinta yang kuyakini. BERILAH YANG TERBAIK UNTUK CINTA. Kata-katanya selalu terngiang ditelingaku, ini sudah menjadi bagian dari rencanaku untuk mengatur pertemuan dengan Andini. Aku akan memastikan padanya bahwa yang dilakukannya adalah sebuah kekeliruan.
Kurebahkan tubuh ini dan mencoba memejamkan kedua mata, terasa begitu gelap. Namun suara-suara dalam benak ini datang silih berganti menyerukan agar aku seperti ini dan seperti itu, tidak.! Aku sungguh terlalu mengantuk untuk terus mengobrol dengan suara hatiku. Lalu perlahan namun pasti, suara-suara itu menghilang, berganti dengan sebuah kesenyapan yang membuatku benar-benar terlena… akupun tertidur.!
****
Siang itu sengaja aku mendatangi kampus Andini, setelah sebelumnya berkali-kali aku coba menghubunginya. Merasa terpaksa atau entah apa, akhirnya dia mau bertemu denganku. Aku memang kecewa dengan sikap Andini akhir-akhir ini, namun kali ini aku akan mencoba menyadarkannya bahwa hal seperti itu tidaklah benar. Semoga saja masih ada sedikit kesadaran pada dirinya.
Beberapa meter lagi ketika hampir tiba ditujuan, masuk satu SMS kedalam handphone ku. Andini mengabarkan agar aku menemuinya disebuah toko kaset yang berada tak jauh dari kampusnya, aku mengenal baik tempay itu. Maka kujawab pesan darinya dengan mengatakan ‘OK.!
Tak terlalu sulit bagiku untuk mencapai toko kaset itu, karena suasana jalanan pun terbilang lancar. Hanya beberapa kendaraan pribadi yang berlalu lalang dan beberapa pengguna sepeda motor, dan ditempat parker depan toko kaset itu hanya ada satu mobil yang terparkir. Ku belokkan setir kemudi dan menghentikan mobil tepat disamping mobil itu.
Ada perasaan yang khas setiap kali aku hendak bertemu dengannya, jantung ini selalu berdebar lebih cepat. Ada sebuah getaran yang menyelusup dan masuk kedalam hatiku, hingga membuat jantungku terasa dag,dig,dug dikala akan bertemu dengannya. Kata sebagian orang itulah perasaan cinta, dan kini tengah ku rasakan ketika kakiku mulai melangkah masuk untuk menghampirinya.
Tujuanku datang ketempat itu bukan bermaksud untuk menambah daftar koleksi lagu, melainkan aku sedang mencari seorang gadis yang telah membuat jantungku merasakan dag,dig,dug seperti ini. Maka ketika pintu kaca itu terbuka, mataku langsung berputar ketiap sudut mencari Andini. Suasana dalam toko kaset sedang tidak ramai oleh pengunjung yang hendak berbelanja, dengan mudah akupun mengenali gadis itu. Dia berada disebuah deretan rak kumpulan lagu pop yang sedang hits, secara diam-diam kuhampiri dirinya.
Tanpa disadarinya kini aku telah berdiri dibelakang tubuhnya, dari balik bahunya aku bisa melihat sebuah cover kasset berwarna keunguan yang tengah dipegangnya.
“aku selalu suka dengan lagu-lagunya, mereka seakan mengungkapkan perasaan hati tiap pendengarnya.!” Andini langsung memutar tubuhnya ketika mendengar suaraku, dia menatap wajahku lalu berkata, “Kamu….”
“sudah lama berdiri disitu.?”
“Mh…”
Aku mengangguk kecil
“Track nomer empat itu adalah lagu kesukaanmu,”
Sambil kutunjuk sebuah judul yang ada dalam cover kaset, Andini tersenyum. Dia terlihat cantik sekali walau dari raut wajahnya ada sesuatu yang terlihat beda, dan entah itu apa. Namun rona wajah itu seperti menyiratkan sebuah tanda jika dia sedang diantara himpitan masalah.
“lama tak bertemu,….”
Dia mengangguk kecil.
Perasaan Ini, Sa'at Ini Dan Ditempat Ini... Semua Tentang Cinta #8
Ternyata aku belum bisa melepaskannya dan mengatakan ‘elo gueh end…!’ padanya, aku tak mampu mengakhiri hubunganku dengannya. Kata putus dan sampai disini ternyata begitu sulit untuk ku ucapkan, dia begitu sabar menghadapiku. Walau sebenarnya aku telah mengecewakannya dan diapun mengetahui itu. Tetapi dia dengan begitu penuh kesabaran tetap mema’afkan ku. Sementara bayangan Andi terus melintas dibenak ini dan kian menambah rasa bersalah pada diriku, duh.! Mengapa aku menghadapi permasalahan sepelik ini.?
“Kamu jadi pendiam sekarang Din.?”
Benar apa yang dikatakannya, harusnya aku tidak memikirkan Andi dahulu ketika sedang bersamanya.
“Andini, aku ingin bicara serius denganmu. Ini menyangkut hubungan kita dan masa depan kita bersama.” Jantungku terasa seperti mendadak berhenti, aku merasakan Ramlan akan mengatakan ‘menikahlah denganku !’ dan saat ini tidaklah tepat untuk ku dengar kata itu.tetapi tetap kuberanilkan diri untuk bertanya padanya.
“Apa mas.?”
“Hal ini sudah ku pikirkan matang-matang dan aku pun mengharapkan ini menjadi yang terbaik buat kamu.” Sampai disitu dia berhenti berkata, inilah sosok Ramlan yang aku kenal. Dia akan selalu membawa sebuah pembicaraan menjadi berputar-putar, walau akhirnya aku akan bisa menebaknya juga. Tetapi kali ini biarlah, aku akan coba mendengarkannya saja dahulu.
“Aku sudah memikirkan, menimbang dan kali ini aku mencoba memutuskan, untuk mengatakan ini padamu. Agar kedepannya hubungan kita ini semakin mantap dan yakin.”
“Lalu…”
Kembali aku bertanya padanya,
“Aku tahu diri, aku ini hanya seorang lelaki yang berpendidikan rendah, tetapi untuk sebuah keberanian tak perlu kamu ragukan lagi. Aku sudah memiliki itu agar hidup kita tak sengsara.”
Ada beberapa perkataannya yang tak bisa kumengerti, tetapi pada dasarnya kemana arahnya aku tahu. Sejenak ku lirik handphoneku, disana sama sekali taka da panggilan masuk ataupun SMS dari Andi. Kemana saja dia, pikirku…
“Ingat janji kita dahulu Din ?,rasanya janji itu kita abaikan saja demi kebaikan kita bersama.”
Tepat seperti yang ku duga, dia sebenarnya ingin mengatakan hal itu. Bagai mana ini ? aku merasa sudah tak pantas lagi mendampinginya. Aku sudah mengecewakannya terlalu jauh, dan perasaan ini, saat ini dan ditempat ini dimana Ramlan sedang bersamaku, tetapi hati ini terpaut pada sosok Andi. Dimana dia? Apa yang kini tengah dilakukannya? Aku Galau Jauh Darinya. Itu semua menjadi pikiranku.
Mengapa tidak ada kabar darinya, aku merasa benar-benar kehilangan. Sementara itu karena melihatku lebih banyak terdiam, Ramlan menghentikan pembicaraannya. Dia menatapku tajam dan seperti merasa kurang mendapat respon dariku, dia pun ikut terdiam. Tak berapa lama kemudian dia berkata lagi,
“Andini, apakah kamu masih mencintaiku?!...”
Pertanyaan itu mendadak membuyarkan pikiranku, apa yang haus kulakukan? Mengatakan sebuah kejujuran ataukah kembali membohongi perasaan hati ini.
“Aku, aku…”
Tak mampu aku untuk melanjutkan perkataan ku, lidahku terasa kelu. Aku hanya terdiam dan tak mampu menjawab pertanyaannya, tiba-tiba Ramlan menarik tubuhku dan membenamkannya dalam pelukan tubuhnya, erat dia memelukku.
“Ijinkan aku memelukmu untuk yang terakhir kalinya Andini, aku tak akan memaksamu untuk menjawab pertanyaan itu.!”
Ya Tuhan apa yang telah aku lakukan?, aku telah menyakiti perasaan hatinya.
“Saat ini aku hanya berharap agar kau tau betapa besar cinta kasihku padamu.!”
Dalam dekapann tubuhnya aku merasakan getar-getar isak yang tertahan, apa yang telah aku lakukan?. Ya Tuhan, aku telah menghancurkan harapan dan ketulusan cintanya selama ini.
“Ma, ma’afkan aku mas…”
Perlahan dekapan erat tubuhnya mulai mengendor, dan tak lama kemudian dia melepaskannya. Jelas sekali kulihat dari sudut matanya ada cairan sembab yang tertahan.
“Tidak apa-apa Din… jika ini yang terbaik buat kamu, aku ikut merasa bahagia.”
Perkataan macam apa itu, itu adalah perkataan paling bodoh yang pernah kudengar. Tetapi aku tak bisa berbuat banyak, Andi-lah yang telah terlebih dahulu menghisap madu cintaku. Aku tak mungkin membiarkan dia lari dari pelukanku begitu saja. Ramlan terdiam, kami terdiam. Aku tak tahu harus bagai mana, ku raih jemari tangannya lalu menggenggamnya. Senyum penuh kehancuran terkembang dari bibirnya, aku merasa bersalah sekali tetapi akupun tak berdaya, inginnya kedua pria ini kumiliki selamanya.
Sementara itu dari sebuah meja yang terletak tak jauh dari Andini dan Ramlan berada, seorang pemuda tengah memperhatikan gerak-gerik mereka berdua. Andini dan Ramlan tidak menyadari hal itu ternyata pemuda tersebut telah mengabadikan gerakan-gerakan yang yang telah mereka berdua lakukan kedalam sebuah kamera photo. Lalu setelah merasa cukup dia bangkit berdiri, melangkah mendekati kasir, lalu tak lama kemudian melangkah keluar dan melewati meja dimana Andini dan Ramlan berada.
Aku yang kebetulan duduk menghadap kearah kasir dan tiba-tiba melihat seorang pemuda berlalu dan melintas disampingku, mendadak aku merasa jengah ketika mata kami saling bertatapan. Karena senyum yang dikeluarkannya benar-benar sebuah senyuman yang jahat dan penuh kelicikan, siapa dia? mengapa senyumnya begitu sinis terhadapku. Aku benar-benar tak habis pikir dengan pemuda yang baru saja berlalu disampingku, ku putar posisi duduk ku… mataku tertuju pada arah pintu keluar, sayang sosok pemuda itu telah berlalu dan menghilang diantara keramaian orang-orang yang berada diluar.
“Ada apa?,”
Ramlan bertanya karena melihat tingkahku,
“Tidak ada apa-apa mas!”
Jawabku, meskipunn sebenarnya aku masih kepikiran. Siapa sebenarnya pemuda tadi?
Diantara Sahabat Dan Kekasihnya-Semua Tentang Cinta #9
Perkenalkan namaku adalah Rosita yulia, saat ini aku berstatus sebagai seorang mahasiswi di sebuah perguaruan tinggi. Aku dan Andini mengambil jurusan yang sama di universitas yang sama pula, aku dan Andini adalah sahabat sejak kami duduk di kelas enam SD. Dan kini baru ku alami kejadian seperti ini, dimana aku merasa tertarik kepada kekasihnya. Menurutku ini gila!, apa yang harus aku katakana pada sahabatku itu mengenai ini semua. Walau tidak terkesan seperti sedang berpacaran tetapi aku yakin Andi sedang mencoba pe-de-ka-te (mendekatiku) dan hari ini, setelah selesai mengajukku nonton di sebuah gedung bioskop 21, kembali dia mengajakku pergi kepantai.
Harus ku akui Andi seorang penakluk wanita, dengan wajahnya yang tampan dia juga sangat piawai memainkan perasaan wanita. Aku merasa nyaman didekatnya ,beruntung sekali jika aku bisa mendapatkan seorang lelaki seperti Andi, dunia ini rasanya indah.
Hembusan angina pantai yang sepoi-sepoi serta warna jingga dilangit membawa aku kesebuah suasana, suasana yang terasa begitu Romantis. Kami duduk disebuah tenda dengan menghadap kearah lautan, buih-buih air dipermainkan ombak yang kadang seperti meluap dan setelah itu kembali surut. Butiran-butiran pasir tampak berkilauan tertimpa sinar mentari sore, burung camar beterbangan kian kemari, inilah sebuah kemesraan dan kuharap tak berakhir sampai disini.
Ku raih tangan Andi, dan menarik kedua tangannya lalu membawanya ketepian pantai dengan kaki tak beralas. Lembut kurasa ditelapak kaki ini setiap pasir yang terinjak bersentuhan dengan kulit kaki ini. Tawa bahagia menggema keseluruh langit pantai, kami berputar-putar, berkejar-kejaran, hingga tiba-tiba aku terjatuh dan menindih tubuh Andi.
Tawa kami yang tadi penuh kini menghilang dan berganti dengan saling tatap, ya! Dalam posisi masih terbaring dan tubuhku berada diatas tubuhnya, kami saling tatap. Seperti ada percikan bara api yang mendadak membakar gelora jiwa dari tatapan mata itu…
Aku hanya mengikuti naluriku, ketika kehangatan itu menjalar keseluruh tubuhku. Lidahnya yang nakal menggelitik didalam rongga mulutku, menerobos barisan gigi dan menyentuh langit-langit dinding mulutku. Ku peluk erat tubuhnya dan mengajaknya berguling diatas pasir putih, hinggga tak terasa kini dia telah melepas pagutan itu dan berada diatas tubuhku.
“Sita, ku rasa aku telah jatuh cinta padamu, maukah kau merahasiakan ini pada Andini?”
Aku terlena mendengar kata cinta darinya, tetapi juga menyadarkan aku akan pengkhianatanku pada salah seorang sahabat baikku.
“Aku berjanji akan meninggalkan Andini, dan memilih kamu sebagai kekasihku. Maukah kamu?”
Sekali lagi aku benar-benar telah dibuatnya menjadi tak punya pilihan lain, selain hanya tersenyum dan mengangguk kecil. Pikirku, aku bahagia karena memang aku pun mencintai Andi, sementara Andini? … itu urusan belakangan.
“Tapi benar ya mas, nanti kamu putuskan hubungan mu dengan Andini.!”
“Aku janji, karena memang sebenarnya cinta sejatiku adalah kamu sayang…”
Setelah berkata seperti itu kembali kami berciuman dengan mesra, sementara langit pantai mulai menghitam, dan malam mulai bertahta. Kami pun pulang meninggalkan tempat terindah dimana Andi menyatakan cintanya padaku.
***
Sebal, benar-benar menyebalkan. Mengapa ketika aku sedang ingin menelponnya mendadak nomer yang aku tuju sedang sibuk, huh!, pasti dia sedang menerima telpon dari Andini. Maka ku kirim sebuah SMS mungkin saja dengan ini dia akan membalasnya.
Ku rebahkan tubuhku diatas tempat tidur kamarku, sebentar-sebentar kulirik handphoneku. Tak ada juga balasan SMS atau pun telepon darinya, kutarik nafas panjang dan mengeluarkannya perlahan melalui hidung. Kenangan hari ini bersama Andi benar-benar membekas dalam ingatanku, dan tanpa kusadari tangan ini telah menyentuh bibir, aku terpejam. Rasanya ingin sekali mengulang kembali kemesraan itu. Kuraih sebuah bantal guling dan memeluknya erat, kubiarkan khayalan ini melambung jauh dan mengembara ,jauh terbang keawang-awang, mengkhayalkan sebuah keliaran yang benar-benar liar hingga aku merasakan berkeringat. Tanpa kusadari dalam desahan nafas ini kusebut namanya.
Satu suara membuyarkan semua khayalanku, cepat kuraih handphoneku. Setelah kubaca isi SMS itu, aku tersenyum dalam hati aku memujinya karena dia begitu perhatian. Ku balas SMS itu dengan mengatakan saat ini aku merindukannya, dan tak lama kemudian satu panggilan masuk kedalam handphoneku. Rupanya dia langsung menelpon setelah menerima SMS itu. Lama kami berbicara lewat telpon genggam itu, hingga pada detik terakhir kami akan menyudahi pembicaraan mendadak Andini menelpon.
“Ros, tadi kekampus tidak?”
“Tidak Din!, tadi pagi aku ikut ibuku kesalah satu rumah saudara, ada arisan keluarga.”
Aku mulai berbohong pada sahabat karibku,
“Memang kenapa Din?”
Aku berpura-pura tak mengerti dengan maksudnya itu, walau sebenarnya dia pasti ingin menanyakan apakah Andi ada datang ke kampus atau tidak?
“Oh,…tidak ada apa-apa. Aku kira kamu masuk kuliah. Ya sudah! Besok kita ketemu dikampus dan ngobrol lagi.”
Aku tidak terlalu ambil pusing ketika Andini menyudahi pembicaraan dan menutup telponnya, malam ini aku hanya ingin tidur dan bermimpi indah bersama sang pangeran pujaan hatiku.
Petaka Itu Akibat Dari Karma Cinta - Semua Tentang Cinta #10
Ditempat parkir dalam sebuah Mall tampak mobil bercat hitam metallic terparkir, mobil sedan bercat hitum itu memilih parkir dideretan paling depan. Sementara didalam mobil Nampak seorang lelaki muda dengan mengenakan kaca mata hitam sedang menunggu seseorang, wajah tampannya terlihat tak sabaran menunggu. Dasar matrealistis! Hanya itu yang bisa aku katakan pada gadis yang dulu pernah ku pacari, jauh sebelum aku mengenal Andini dan Rosita. Aku tak menyangka hal ini bisa menjadi duri dalam hidupku. Aku jadi tak sepenuhnya tenang jika dia datang atau menelponku, padahal dahulu sebelum dia bersuami semua masalah sudah teratasi dengan tumpukan uang yang kusodorkan padanya.
Licik dan sangat picik pemikiran yang ada dalam otak suaminya telah merubahnya dan membuatnya melakukan pemerasan terhadapku, aku tidak suka diperas. Aku benci dengan kelakuan seperti itu, kau yang telah berani bermain-main denganku maka terimalah akibatnya. Jangan main-main denganku, karena aku akan membalasmu. Tak lama kemudian sebuah mobil masuk kedalam parkiran dan berhenti tak jauh dari mobil sang pemuda, tiga orang lelaki berwajah keras datang menghampiri sipemuda.
“Mantan bos dan juga suaminya yang matre itu sudah aku beri pelajaran, dia tak akan berani mengganggu bos lagi.!”
“Apa jaminannya jika dia tak akan menggangguku lagi.?”
“Anu,bos….”
“Anu, anu, dasar bodoh.! Mana rekaman film yang ku suruh rebut dari suaminya, mana.!?”
“Anu, bos…”
“Sudah kuduga, kalian tidak bisa mengambil darinya khan.??”
“Anu, bos…!”
“Akhh…sudah .! anu,anu..sekarang cepat kalian rebut rekaman film itu dan bawa kemari.!”
“Ba, baik bos.!”
“Dan kalian ingat ya.! Jangan berani bertemu denganku sebelum kalian berhasil membawa rekaman itu, mengerti.!!!”
“Mengerti bos.!”
Aku yang bodoh atau memang mereka yang benar-benar bodoh, ku usir mereka dengan mengibas-ngibaskan tangan kiriku agar mereka segera enyah dari hadapanku.
“Tapi bos…”
“Apa lagi.??”
“Uang bensinnya dong bos.!”
Akhh…orang-orang yang ku anggap bodoh ini ternyata matre juga, tetapi demi berjalannya rencanaku ini maka kubuka dompetku dan mengeluarkan tiga lembar uang pecahan seratus ribu rupiah.
“Ini.! Tapi ingat, jangan sampai mengecewakan aku lagi ya.!”
“Siap pak bos.!”
*****
“Brewok, kamu beruntung mempunyai bos macem bos Andi itu.! Dia baik hati dan tidak pelit.”
“Sebenarnya dia masih muda, makanya kurang pengalaman. Jadi aku gampang saja berdalih.”
Ke tiga lelaki yang berada dalam mobil tertawa bersamaan, mereka merasa senang karena mempunyai seorang bos yang tidak pelit.
“Kawan bagai mana jika didepan sana, kita mampir ke Bar dulu.?!”
Salah seorang yang duduk dikursi belakang berkata, sambil tangannya menunjuk sebuah tempat.
“Wah…! Kamu ini memang paling bisa, ha…ha…ha…tidak boleh dengar kata uang, langsung saja otak mu tertuju pada alkohol.”
Lelaki yang dipanggil dengan nama Brewok berkata sambil tertawa.
“Tapi boleh juga tuh idenya.! Kebetulan aku sedang ingin minum bir juga.”
Kembali tawa ketiga orang dalam mobil itu terdengar.
*****
Setengah mabuk Brewok dan kedua temannya mendatangi sebuah rumah, sang pemilik rumah kaget bukan main ketika tiba-tiba pintu rumahnya telah dibuka paksa oleh orang yang tak dikenalnya.
“Kurang ajar.! Kalian siapa dan mau apa.??”
Sipemilik rumah marah bukan kepalang, dia murka tetapi juga tak begitu bernyali menghadapi ketiga orang ini.
“Kamu belum kenal dengan si Brewok.? Jawara pasar kaget hah.!?”
Brewok angkat bicara sambil matanya yang merah melotot kearah sipemilik rumah.
“Mau apa kalian, aku tidak punya urusan dengan kalian.!”
“Sekarang kamu punya.! Karena kau telah memeras bos kami.”
Brewok Nampak manggut-manggut, mendengar salah seorang temannya berkata seperti itu.
“betul apa kata temanku itu, kau berani kurang ajar terhdap bos kami.”
“Siapa bos kalian.? Aku tidak mengerti dengan apa yang kalian maksudkan.!”
Brewok melirik kearah kedua temannya dan lalu tersenyum,
“Wah, wah.! Jadi kau sudah pikun ya.?! Biar ku beri tahu, bos kami bernama Andi. Kau kenal dia.?”
Wajah pucat sipemilik rumah kian memucat ketika nama Andi terdengar disebut oleh tamu yang tak diundangnya itu.
“Aku tidak kenal dengan bos kalian…”
Mendengar itu amarah Brewok naik, dengan penuh kegeraman kedua tangannya langsung menjambak kerah baju sipemilik rumah yang ketakutan itu. Lalu dengan kasar dia melempar tubuh lelaki malang itu menghantam meja dan kursi yang berada diruang tamu rumahnya. Dari balik sebuah kamar keluar seorang wanita, dia berseru karena mendengar kegaduhan diruang depan.
“A….ada apa ini.?!”
Suaranya tertahan ketika mendadak sebuah tangan kekar dan kasar membekapnya dari belakang.
“Kurang ajar kalian.! Lepaskan istriku, jangan ganggu dia.!”
Ketiga orang suruhan Andi itu tertawa menyeramkan, membuat nyali sipemilik rumah kian menciut. “Sekarang katakan dimana kalian menyimpan rekaman film yang kau buat sebagai pemeras bos kami.? Cepat katakan.!?”
“Ba,,,baik tapi lepaskan istriku dahulu.!”
Brewok melirik kearah temannya yang tengah memegangi istri sipemilik rumah, seperti memberi sebuah isyarat temannya pun tersenyum dan melepas bekukannya pada wanita itu.
“Cepat katakana ada dimana rekaman film itu.!?”
Tangan kanan sipemilik rumah gemetar menunjuk kearah sebuah kamar.
“Disana didalam kamar.”
Brewok dan kedua temannya tertawa puas, diseretnya kedua orang suami istri itu kedepan pintu kamar. Dan setelah berada didepan pintu kamar tangan si Brewok dengan kasar mendorong tubuh sipemilik rumah masuk kedalam kamar itu.
“Cepat ambil.!!!”
Sementara sipemilik rumah tengah membuka sebuah lemari pakaian dimana rekaman film itu disimpannya untuk memeras korbannya, Brewok melirik kearah wanita yang tengah dipegangi oleh temannya itu.
“Nanti kita bersenang-senang sebentar ya sayang…”
Sambil berkata seperti itu, tangannya mencolek dagu siwanita.
“Ffuueeh.! Najis. Aku tak sudi.!”
Jawab istri sipemilik rumah sambil meludah kearah si Brewok, melihat hal itu justru Brewok malah tertawa.
“Terus pegangi dia kawan.”
Brewok masuk kedalam kamar dan menghampiri sipemilik rumah, lalu menyambar sebuah kotak bungkusan yang dipegang oleh lelaki malang itu.
“Brengos.! Bawa masuk wanita itu.!”
“Apa yang kalian lakukan.! Cepat lepaskan aku.!”
Dengan paksa tubuh si wanita yang diketahui adalah mantan kekasih dari Bos mereka sendiri itu dihempaskannya keatas tempat tidur, dan sedetik kemudian Brewok menerkamnya serta dengan paksa mencumbu istri sipemilik rumah. Melihat hal itu betapa geramnya sang suami, maka dengan tenaga yang tersisa, dihantamkannya sikut kanannya dan tepat mengenai ulu hati salah seorang teman Brewok yang sedang memegangi sipemilik rumah. Lelaki malang ini cepat memburu kearah Brewok dan menerjang tubuh kasar lelaki suruhan ini yang kini tengah berada diatas tubuh istrinya, dengan satu bentakkan yang keras sipemilik rumah ini mendorong tubuh Brewok hingga terjatuh dari atas tempat tidur.
Sisa alkohol yang menguasai pikiran Brewok membawa dirinya buta akan keadaan disekelilingnya, dia telah dibutakan oleh nafsu biadabnya maka secepat kilat dia menghunus sebuah belati yang terselip dibalik pinggangnya. Dan bebarapa detik kemudian darah telah mengucur dari tubuh sipemilik rumah, belati itu ditusukkkannya deras kearah dada kanan sipemilik rumah yang coba menyelamatkan istrinya itu.
“Brewok cukup.!! Apa yang kau lakukan kawan.? Kita kesini bukan untuk membunuh kau ingat itu.!”
Salah seorang dari temannya mengingatkan, namun sayang… nyawa lelaki malang itu tak terselamatkan lagi, dia meregang dan tewas seketika.
“Huh. Sial, ayo kita kabur saja.”
“bagai mana dengan wanitanya.?”
“Akhh…tinggalkan saja, aku sudah tak lagi peduli padanya, ayo kita kabur sebelum ada yang mengetahui perbuatan kita ini.”
Menuntaskan Karma Cinta - Semua Tentang Cinta #11
Masih kenal denganku?, ha..ha..ha… ya betul sekali aku adalah kapten Harris. Dan kini aku sudah berstatus sebagai seorang detective di kepolisian pusat kota, dan hari ini diatas meja kerja ku telah tergeletak sebuah map berwarna coklat didalam map itu tersimpan sebuah berkas. Sambil meminum secangkir kopi hitam, kubuka isi map itu…ternyata sebuah kasus pembunuhan yang pekan lalu sempat ramai diberitakan oleh media, sementara ini menurut perkiraan ku sendiri kasus ini dilatar belakangi oleh dendam. Pemicu dari terjadinya kasus ini memang masih simpang siur, dan disinilah tugas utamaku sebagai seorang detective.
Aku harus membongkar semua kejadian ini. Baiklah akan coba kumulai dengan mengunjungi beberapa pemilik Nama, kemudian meminta keterangan dari masing-masing Nama yang tertera dalam catatan berkas ini. Siang itu aku memutuskan untuk terlebih dahulu menjambangi kediaman si korban, dari sana aku akan memulai mengembangkan penyelidikanku.
“Nyonya Gandi perkenalkan saya detective Harris dari kepolisian kota, saya turut berduka cita atas meninggalnya suami anda. Dan demi lancarnya penyelidikan ini, saya mengharapkan kerja samanya dari anda.!”
Itulah pertama kalinya aku memulai penyelidikan dengan meminta keterangan langsung dari istri korban, nyonya Gandi terbilang masih muda dan juga cantik, dia berumur 32 tahun dengan wajah yang oval dan Nampak masih seperti remaja kebanyakan padahal beliau sudah mempunyai dua orang anak.
Menghadapi kasus seperti ini terus terang saja membuat emosiku ikut dipermainkan, aku terkadang suka menggumam sendiri dalam hati, mengapa cinta berakibat seperti ini serta membawa kesedihan yang mendalam pada manusia, bukankah cinta biasanya membuat hati merasa bahagia? Berbunga-bunga dan membuat kita merasakan dimabuk kepayang? Cinta tak seharusnya mendendam, asalkan cinta diperlakukan seperti apa adanya.
Dari keterangan wanita ini, aku mendapat kesimpulan bahwa sipelaku adalah suruhan dari mantan kekasihnya yang bernama Andi. “anak pertama kami adalah hasil hubunganku dengannya diluar nikah.” Begitulah menurut penuturannya. Dia pun menambahkan, bahwa pada dasarnya dia telah merelakan nasibnya dengan tidak dinikahi oleh mantan kekasihnya tersebut, namun pada suatu ketika dank arena kecerobohannya sendiri, suaminya menemukan sebuah rekaman film dimana adegan dalam rekaman filam tersebut adalah adegan percintaan yang benar-benar vulgar antara dirinya dengan mantan kekasihnya. Berbekal rekaman film itulah pada akhirnya si suami melakukan pemerasan terhadap mantan kekasihnya, dengan berdalih itu semua dilakukan mengatasnamakan untuk anak pertamanya.
Kini semuanya sudah menjadi jelas, memang tepat analisa awalku, hanya saja ternyata ada indikasi lain pemicu dari kasus ini yakni adanya rekaman film yang menjadi sarana pemerasan terhadap mantan kekasihnya. Pada kesempatan itu juga aku sudah mengumpulkan data-data tentang seorang lelaki bernama Andi yang kini menjadi target utamaku, beserta ketiga orang anak buahnya.
Hari kian melompat jauh tak terasa hari sudah sore, aku memutuskan untuk undur diri dari hadapan nyonya Gandi dan setelah berpamitan tak lupa aku sodorkan sebuah kartu nama padanya.
“Jika ada apa-apa silahkan telpon, dan jangan segan-segan untuk menelpon. Ini kartu nama saya.!”
Nyonya Gandi mengulurkan tangannya dan menerima kartu nama yang ku sodorkan dengan tanpa sepatah katapun, kemudian terlihat dia mengangguk kecil.
Belum juga jauh aku meninggalkan kediaman Nyonya Gandi, mendadak dikagetkan oleh sebuah mobil yang menyalip secara mendadak dan terlihat berhenti dihalaman rumah sang Nyonya.
“Sompreeet.! Siapa mereka.?” Pikir ku, cepat kuputar balik mobilku dan kembali mengarah kerumah itu. Belum juga aku keluar dari mobil tiba-tiba saja dari dalam rumah terdengar sebuah teriakan meminta tolong.
“Tolooong…!”
Setengah melompat aku turun dari mobil lalu berlari kearah suara tadi, ku cabut pistol yang terselip diantara dada, penuh rasa waspada ku arahkan ujung laras pistol disetiap langkah ketika mulai memasuki rumah itu. Dari balik sebuah ruangan aku mendengar suara bentakan seorang lelaki, dia memaksa nyonya muda itu untuk menyerahkan rekaman film yang asli.
“Cepat serahkan Rekaman film yang asli pada kami, atau kau ingin berakhir mengenaskan seperti suami mu itu.!?”
“Aku tidak tahu. Dimana suamiku menyimpan rekaman film yang asli, aku tidak tahu.!”
“.........Kenapa tidak kalian tanyakan langsung saja pada jasad yang kemarin telah kalian bunuh.!?”
“Jangan ada yang berani bergerak.! Atau kalian akan saya tembak.!”
Ketika kudapati tiga orang lelaki berwajah sangar tengah mengerumuni nyonya Gandi, seorang diantaranya yang berwajah brewok terlihat menghunus belati.
“Jangan berani melawan bung, atau kau ingin mati konyol tertembus timah panasku.!?”
“Cepat lemparkan pisau itu, …cepat lempar.!!!”
“kau ini siapa.?”
“Saya dari kepolisian pusat, jangan ada yang berani melawan jika kalian ingin selamat.!”
Semua Tentang Cinta #12
"Apa katamu, kamu hamil.?”
“Iya !”
“Kok bisa.? Siapa laki-laki yang telah melakukannya?”
Rosita terdiam, lalu kembali tangisnya meledak dan kian menjadi.
“katakan padaku Sita.! Siapa laki-laki yang telah menghamilimu,apakah kedua orang tua mu sudah mengetahui kehamilanmu ini.?”
Kini air matanya benar-benar tumpah semua, aku mendekapnya, ku peluk tubuh sahabatku itu. Sambil ku elus rambut panjangnya dia menyusupkan wajahnya didada kiri ku, perlahan tangisnya mereda. Lalu dia menjauhkan wajahnya dari dada ini.
“Aku bingung untuk mengatakannya…”
Suara Rosita masih samar-samar terdengar diantara lamunanku, dari perkataannya sayup-sayup terdengar sebuah nama yang begitu akrab ditelingaku.
“Kau bilang apa tadi Sita,?”
“…Lelaki yang kau sebut bernama Andi, apakah maksudmu Sujatmiko Andi Pratama ?”
Lirih suaraku bertanya padanya, karena aku pun kurang yakin dengan pendengaranku barusan. Rosita tampak mengangguk perlahan… aku terbengong, menatap jauh dan menerawang menembus kedalam dinding matanya yang berlinangan air mata itu. Perlahan ku goyang-goyangkan kepalaku ke kiri dank e kanan, untuk menepis kenyataann itu, atau aku berharap itu semua tidaklah benar adanya. Kian lama gelengan kepalaku berubah cepat diiringi teriakan histeris yang keluar dari mulutku.
“Tidak,, Tidak,, Tidaaaaaak…!!!”
“Maafkan aku Andini,”
Tidak! semua ini tidak benar, apa yang telah kau lakukan Sita? Kau berani menikamku dari belakang. Inikah yang kau sebut persahabatan, oh Tuhan apa salah ku hingga menjadi seperti ini.
“Tidaaaaaaaaaaaak.!!!”
Teriakanku bergema dalam ruangan itu, seperti orang yang telah kerasukan roh halus aku menjerit histeris. Jiwa ku berontak, aku tak dapat menerima kenyataan ini.
“Dini, maafkan aku.”
Penuh kebencian ku tatap wajah Rosita, lalu tanpa sepatah kata pun ku tinggalkan dia. Betapa hancurnya hatiku menerima kenyataan bahwa Andilah yang telah menghamili Rosita, benar firasat yang selama ini ku rasakan, tetapi karena kebodohanku aku selalu saja berusaha menepiskan pertanda itu.
Ku hentikan langkah lariku, cepat ku raih handphone dan coba menghubungi lelaki itu. Satu kali dua kali tidak juga ada respon, panggilan telponku benar-benar tak di angkatnya. Aku terduduk lunglai diatas trotoar jalanan, pandangan mataku nanar melihat kesibukan kota disuasana menjelang malam itu.
Kembali aku bangkit dan perlahan berjalan menuju sebuah halte, aku benar-benar bingung dan entah apa yang harus aku lakukan. Saat itulah tiba-tiba saja aku teringat pada Ramlan, aku merasa sangat berdosa padanya. Kata hati ini entah mengapa mengajak aku untuk menjumpainya.
Kuhempaskan bokong ini dan duduk diatas lengkungan besi sebesar paha orang dewasa yang sengaja dibuat sebagai tempat duduk di halte bus itu. Setelah ku kirim sebuah SMS, tak lama kemudian Ramlan membalas SMS dari dan mengabarkan dia sedang berada di rumahnya. Aku ingin sekali bertemu dengannya dan berkeluh kesah padanya, aku merasa ini akan lebih baik dengan mencurahkan kegalauan ku saat ini.
Setelah turun dari sebuah Angkot (angkutan kota) dan menelusuri sebuah jalan, tak lama kemudian saampailah aku di depan rumah Ramlan. Lampu depan rumah menyala, pintu rumah Nampak terbuka dan dua buah mobil terparkir dihalaman rumah. Rupanya ada tamu lain didalam rumahnya.
“Andini.!?... sini masuk!”
Ramlan menghampiriku ketika baru saja aku mendekat di pintu depan, seorang lelaki berjacket hitam dengan topi yang terbalik dikenakannya sedang menemani Ramlan berbincang-bincang diruang tamu itu. Ahhh…aku kenal lelaki ini, bukankah dia adalah kapten Harris.! Sedang apa dia berada disini.?
Semua Tentang Cinta #13
Betapa terkejutnya Andini ketika kapten Harris menceritakan sebuah kasus yang kini tengah ditanganinya, kami berdua, aku dan kapten Harris sedang memperbincangkan kasus tersebut jauh sebelum Andini datang. Gadis manis yang masih sangat ku cintai itu mendadak menjadi pucat pasi, bibir mungilnya terbuka lalu tanpa sadar kedua tangannya menutup rongga mulutnya. Pekik kecil jelas terdengar keluar dari mulut yang berada diantara bekapan kedua tangannya itu, kapten Harris menatap kearahku, pandangan macam apa itu? Tidak! Tidak mungkin Andini terlibat atau bahkan mengenal sosok yang kini tengah menjadi target operasinya.
“Hentikan, jangan menatapku seperti itu.!”
Setengah berbisik aku berkata padanya, kedua tangannya terangkat setinggi dada lalu dia berkata.
“Oke, oke! …
Rasanya lebih baik saya pergi saja Jo, saya pamitan dulu ya!?”
Sepeninggal kapten Harris kini tinggallah aku bersama Andini, dia masih Nampak terkejut mendengar penuturan sang kapten.
“Andini maukah kamu bercerita padaku? “
Andini terdiam….
“Percayalah padaku,ada apa? Apa sebenarnya yang telah terjadi.!”
Aku mencoba bertanya padanya, tetapi dia tetap terdiam. Kini wajahnya kian menekuk kebawah dagu, matanya bermain dan memandangi lantai rumah, tak lama kemudian ku lihat bahunya bergetar dan isak tangisnya pun terdengar.
Ku ubah posisi duduk ku dan lebih merapat padanya, ku raih pundak dan menempelkan kepalanya tepat dibahu kiri ku. Isak tangisnya kian menjadi, menangislah, menangislah jika itu akan menyelesaikan masalah. Sambil menenangkannya ku belai-belai rambut serta punggung bajunya, Andini kian membenamkan wajahnya pada bahu ini.
Ibu datang dan membawakan segelas minuman untuknya, sebelum duduk matanya memendang kearah ku, aku hanya menaikkan sedikit bahu ku memberi tanda pada ibu, bahwa aku sendiri pun belum mengerti dengan apa yang dialaminya.
“Nak Andini, kenapa bersedih? Maafkan ibu jika lancang bertanya,”
Ibu memberanikan diri bertanya padanya.
“Ma’afkan Dini bu, datang kesini hanya membawa kesedihan pada ibu dan juga Mas.”
Andini berkata sambil menyeka air matanya,
"Ceritakanlah pada kami Din, mungkin kami bisa membantu.!”
Aku membalas perkataannya dengan sebuah permintaan.
“Baiklah, aku akan menceritakan semuanya pada ibu dan juga mas.”
Ada yang benar-benar berubah dari sosok Andini, kini dia terlihat agak kurus wajahnya terlihat sedikit tirus. Tidak seperti terakhir kali aku melihatnya, sebuah perubahan kecil apapun bisa ku amati darinya.
“Ini akan sangat memalukan buat Andini sendiri, tetapi Dini yakin ibu dan juga Mas Ramlan tak akan menceritakan hal yang memalukan ini pada siapapun.”
Sampai disitu kata-katanya terhenti, kembali dia menyeka linangan air mata yang tak henti menetes.
“Dini sudah salah menilai, serta mengambil keputusan, hingga terlalu gegabah mengambil sebuah tindakan. Dan…”
Belum selesai melanjutkan perkataannya kembali dia menangis, ibu menghampirinya dan memeluknya.
“Sudahlah nak, ibu mengerti dengan apa yang kamu maksudkan. Ibu sayang sama kamu sama halnya seperti Ramlan yang menyayangi mu. Sekarang beristirahatlah, kamu terlihat letih sekali.!”
“Tetapi bu,?”
“Sudah Ramlan, tidak apa-apa biarlah Andini beristirahat dulu, kasihan dia.”
Kemudian ibu mengajak Andini masuk ke kamar khusus tamu, dan membiarkan beberapa saat untuk Andini beristirahat dan membersihkan tubuhnya. Malam itu suasana rumah sungguh berbeda kami makan malam bersama, didalam ruang makan itu baik aku maupun Andini sering saling curi pandang. Aku hanya membayangkan betapa bahagianya aku, jika dia menjadi istri ku dan kami akan selalu berkumpul seperti ini.
Setelah makan malam, Andini lebih banyak menemani ibu. Sementara aku memutuskan untuk merebahkan tubuhku sesaat didalam kamarku, saat itulah tiba-tiba Andini datang dan mengetuk pintu kamarku. Didepan pintu kamar aku terdiam dengan tubuh yang tak bisa ku gerakkan karena Andini memelukku denganbegitu eratnya,
“Ma’afkan aku mas, selama ini aku telah salah melangkah.!”
Cerita Bersambung #14
Tiba di rumah tepat pukul 10 malam, di ruang keluarga ku dapati Mama dan Papa sedang menonton TV. Kami menghampiri mereka berdua dan seperti biasanya Ramlan akan langsung bergabung dan melebur ditengah –tengah obrolan mereka, sementara aku ngeloyor pergi ke kamar setelah sebelumnya berpamitan pada mereka semua. Di dalam kamar aku terduduk di depan cermin, ku perhatikan sejenak wajah ini lalu beranjak dan menghempaskan tubuh ku di atas pembaringan. Semuanya sudah ku ceritakan pada Ramlan saat perjalanan pulang ke rumah, oh… tidak! Tidak semuanya, aku masih merasa malu untuk menceritakan tentang Rosita yang juga sedang mengalami kesedihan. Aku mendapat sokongan semangat darinya, aku benar-benar menyesal dengan segala kegegabahan ku, aku terlalu mudah melepaskan sesuatu yang ku anggap sangat berharga dalam hidup ini. Seperti ketulusan hati Ramlan, yang selama ini ia berikan untuk ku.
Dari balik pintu kamar ku saksikan mereka bertiga sedang asik bersenda gurau di tengah menonton sebuah film sinetron, ahhh… andai saja aku bisa memutar waktu. Menyaksikan itu semua membuat ku berharap untuk bisa kembali pada masa lalu di mana kebahagiaan sesaat itu bisa ku buang dan ku tepis. Tetapi kini ibarat nasi yang telah menjadi bubur, aku dan Rosita sahabat karib ku telah menjadi tersia-siakan karenanya.
“Pa, Mah… aku pinjam Ramlannya dulu ya.”
Kata ku sambil menggodai kedua orang tua ku.
“Kamu ini, memangnya Ramlan benda mati apa !, pake di pinjam segala.”
Mama tak kalah sigap membalas godaan dari ku, setelah itu tawa mereka kembali terdengar bersamaan.
Ku tarik pergelangan tangan Ramlan dan mengajaknya ke ruang depan, sampai disana justru malahan aku yang bingung dan akhirnya membawa kebekuan, aku tak tahu harus memulainya dari mana.
“Terima kasih ya, untuk semua ini.!”
Hanya kata itu yang bisa ku ucap padanya,
“Kamu ingat dengan Santi?”
Mendadak dia bertanya tentang seorang wanita yang bernama Santi, yang beberapa tahun lalu meninggal tertembak setelah terjadi baku tembak , saat terjadi penangkapan atas suaminya.
“Ingat.! Memangnya kenapa mas?”
“Tidak apa-apa, hanya saja sekarang ini aku teringat akan kebulatan tekad dan kemantapan hatinya dalam membela kebenaran yang di yakininya.”
“Aku tahu,”
“Dia berani membela kebenaran meskipun nyawanya sendiri yang menjadi taruhannya.!”
Ada rasa kehangatan yang menyelimuti perasaan ku mendengarkannya berbicara, rasa gundah di hati ini terasa tenang, aku berterima kasih sekali dia mau menemani ku di saat seperti ini, dan seakan sengaja membawa ingatan ku pada beberapa tahun yang lalu, membawa ku kembali jauh kebelakang mengingatkan jalan terjal yang pernah kami lalui. Lalu aku tersadar, ternyata memang telah cukup lama kami saling menemani seperti ini. Aku menyesal telah meninggalkannya setelah sekian banyak suka duka yang kami rasakan, aku rasa ia memang sosok yang selalu belajar dari pengalaman yang pernah di rasakannya.
“Aku ingin kita saling membantu, dalam memecahkan permasalahan ini. Kamu, aku dan juga Kapten Harris sendiri, kita harus saling membantu Din!”
Tidak ada yang berubah dari seorang Ramlan yang aku kenal, dia akan selalu berputar-putar untuk mengutarakan maksudnya itu. Tetapi tidak apa-apa, justru aku merasa tenang dia berada disini dan berkata-kata dengan ku.
“Aku berharap tidak ada lagi yang kamu sembunyikan, karena aku yakin dia belum terlalu jauh dan masih berada di kota yang luas ini.!”
Ke inginan ku pun seperti itu, setidaknya bajingan itu bisa tertangkap dan merasakan semua penyesalannya dalam ruang tahanan yang sempit. Tetapi aku bingung entah harus mencarinya ke mana, aku tak tahu banyak tempat-tempat yang biasa di singgahinya.
“Aku tak tahu mas.! Entah di mana kini dia berada, nomer teleponnya pun tak pernah aktif setiap kali aku mencoba menghubunginya.”
“Kita tidak boleh berputus asa, aku yakin pasti akan ada jalan untuk menangkapnya.”
Kami terdiam beberapa saat, angin malam berhembus dari arah depan dan menerpa wajah ini. Aku tak menyangka Ramlan mau berpikir sekeras itu, pada hal semua ini adalah masalah ku. Masalah yang seharusnya aku selesaikan sendiri. Ada rasa tak enak hati karena telah membuatnya seperti itu.
“Sudah malam ya.!”
Aku tak ingin terlalu membebaninya dengan permasalahan ini, semoga dia mengerti dengan apa yang aku maksudkan. Kini baginya untuk beristirahat dan mengumpulkan tenaga untuk esok yang aku yakin akan semakin kejam.
Semua Tentang Cinta #15
Dua hari telah berlalu terhitung semenjak Ramlan mengantarnya pulang malam itu, baik Andini maupun kapten Harris sendiri belum ada yang menghubungi ku dan membagikan catatan harian mereka kepada ku. Hanya dengan menghubunginya aku bisa mendapatkan sedikit cerita dari Ramlan. Dimana siang itu di sela waktu luangnya, Ramlan coba menghubungi kapten Harris.
“kacau Jo.! Sampai detik ini kami masih kesulitan mengetahui keberadaan orang yang kini menjadi target utama kami, dari keterangan tiga orang anak buahnya tak ada satu pun informasi yang membantu. Sementara keadaan keluarga serta ke dua orang tua si tersangka saat ini sangat mengenaskan, keadaan ekonominya sedang hancur, kini ke dua orang tuanya sedang terlilit masalah hutang yang benar-benar serius.”
Malangnya Andini, karena telah di khianati oleh kekasih pilihan hatinya, dan juga oleh Rosita sahabat karibnya sendiri. Luka serta bekas sayatan di hatinya tak akan mampu sembuh hanya dalam tempo sebulan dua bulan, bagai mana pun akan memerlukan perjuangan yang sangat panjang guna menghapus memori menyakitkan itu dalam benaknya.
Sementara Ramlan yang terseok-seok dan terus melangkah mengais puing-puing cinta sejatinya harus penuh kesabaran menjalani detik, menit dan waktu-waktunya untuk menunjukkan pada dunia bahwa cinta sejati itu ada dan dialah yang kelak akan mendapatkan gelar pejuang cinta dan mungkin mendapat gelar sebagai penganut cinta sejati yang sebenarnya.
Di teguknya teh manis yang sudah dingin itu lalu dia meraih telepon genggamnya,
“Aku mau ngajak makan siang, kamu mau khan? Ya sudah kalau begitu beberapa menit lagi aku jemput kamu. Oke.! Daaaagh.”
Andini beberapa hari ini lebih banyak berada di rumah dan menghabiskan waktunya dalam kamar, aku rasa dengan mengiyakan dan menerima ajakan untuk makan siang di luar adalah sebuah keputusan yang bagus. Selain bisa lebih leluasa menghirup udara segar (Istilahnya) dia juga bisa berbaur dengan orang lain dan sejenak melupakan kenangan menyakitkan itu, bagai mana pun live must go on.!
Singkat cerita tibalah Ramlan dan Andini di sebuah rumah makan padang, mereka keluar dari mobil. Walau tangannya tak di rangkul oleh Andini, tetapi dalam hati si pemuda dia merasa bahagia sudah bisa berdekatan serta makan semeja dengan gadis pujaannya itu
“Aku kemar kecil dulu ya, sudah sejak dari mobil nahan pipis.”
Andini berkata sambil melangkah ke arah kamar kecil, di sambut anggukan kepala Ramlan. Dann tak lama kemudian Andini pun menghilang di pintu belakang.
Suasana rumah makan di siang itu sungguh ramai, selain meja makan yang tampak telah penuh terisi, beberapa orang juga terlihat sedang mengantri meminta agar di bungkuskan nasi. Beberapa menit kemudian Andini datang dan langsung duduk menghadap ke arah Ramlan yang duduk membelakangi etalase aneka sajian menu, dan membelakangi beberapa orang yang sedang mengantri. Seorang pelayan rumah makan datang dan menanyakan apa saja yang ingin mereka pesan, setelah selesai menulis semua pesanan tamunya, pelayan itupun berlalu.
“Aku mendapat kabar dari kapten Harris, katanya keadaan keluarga Andi sedang….”
Perkataan Ramlan mendadak terhenti karena melihat Andini yang sedang menempelkan jari telunjuk pada bibirnya, ada apa gerangan? Pikir Ramlan, pemuda itu pun perlahan memutar tubuhnya coba melihat kearah belakang.
“Sita, itu Rosita.!”
Terdengar lirih suara Andini menyebut nama sahabatnya, lantas masalah gitu? Ramlan mengernyitkan dahinya penuh rasa heran.
“kenapa?”
Disana diantara beberapa orang yang sedang mengantri untuk membeli nasi bungkus, ternyata memang terdapat sosok Rosita. Gadis berkaca mata itu tak sadar jika tak jauh dari beberapa orang yang sedang duduk santap siang disana Andini dan Ramlan berada dan tengah mengawasi gerak geriknya.
“Mas, aku ingin membuntuti gerak gerik Rosita. Mas makanlah duluan.!”
Ada apa sebenarnya ini? Ramlan semakin kebingungan jadinya, setengah berbisik dia bertanya pada Andini.
“Ada apa sebenarnya?”
“Ceritanya nanti saja mas, aku pergi dulu ya.!”
Dengan terburu-buru Andini beranjak, ketika melihat Rosita telah selesai dengan pesanan nasi bungkusnya. Bagai mana ini? Ramlan berpikir, Andini mendadak jadi aneh seperti itu, padahal dia sudah merasa lapar sekali. Oya aroma bumbu rendang menari-nari di permukaan hidungnya. Kemudian tanpa memperdulikan rasa laparnya serta serta tanpa berpamitan pada pemilik rumah makan, Ramlan bergegas mengejar Andini yang telah keluar lebih dulu.
“Lho, lho, lho! Mas dan Mbak yang tadi duduk di sini pergi kemana?”
Betapa kagetnya pelayan tadi ketika mendapati meja tamunya sudah kosong.
“Lho! Lho! Lho! Iki pie urusane.?”
Pelayan yang membawakan makanan pesanan Ramlan dan Andini berdiri mematung di depan meja dan kursi yang telah kosong itu.
“Kamu makan saja sendiri.!”
Salah seorang temannya menggodainya,
“Uogah! Bisa tekor aku nantinya. Enak saja mengapa harus aku sendiri yang memakannya! Aya-aya wae maneh.! Duh, terpaksa aku bawa ke depan lagi deh,”
Sambil terus menggerutu pelayan itupun berlalu dari sana.
Semua tentang Cinta #16
Bertubi-tubi Ramlan di dera rasa keheranan menyaksikan tingkah laku Andini yang sedang memata-matai sahabatnya sendiri, sedikitpun dia belum menerima penjelasan dari gadis itu mengenai semua yang di lakukannya, dia hanya menerima jika nanti pada saatnya akan dijelaskan padanya dank arena merasa kesempatan untuk bercerita pun belum tepat, maka dari itu mulai dari rumah makan padang, hingga kini berada di sebuah jalan yang sempit. Lebih tepat jalan itu di sebut dengan sebuah gang, lengkap dengan pemandangan Got dengan airnya yang hitam pekat yang berada di kiri dan kanan jalan. Suasana gang seperti tak pernah sepi, baik dari pejalan kaki maupun para pedagang, bahkan kendaraan roda dua pun terlihat melintas dan berlalu lalang diantara sempitnya jalan. Pandangan gadis itu tak pernah lepas memperhatikan gerak-gerik serta langkah sahabatnya, sementara Ramlan terus mengikutinya dari belakang.
“Rot, Rotttiiii..!!!”
Terdengar suara seorang pedagang roti tengah melaju dengan gerobaknya kearah mereka, dan tak lama kemudian mereka pun berpapasan dengan si penjual roti tersebut,
“Bang rotinya dua ya.!”
“Apa yang kamu lakukan Mas?!”
“Aku lapar sekali, dan pastinya kamu juga lapar khan?”
Mendengar itu kemudian Andini diam, dan kembali mengawasi sahabatnya yang tengah berjalan membawa sebuah tentengan plastic berwarna merah berisi nasi bungkus.
“Mau rasa apa Om?!”
Ramlan tertegun mendengar pertanyaan dari si penjual roti, dia melirik kea rah Andini yang tengah senyum-senyum sendiri mendengar Ramlan di panggil Om oleh si penjual Roti.
“Keju dua bang.!”
Andini cepat menjawab pertanyaan tukang roti tadi dan masih sambil senyum-senyum , setelah penjual roti berlalu dari hadapan mereka ramlan berkata,
“E, buset dah.! Emang aku setua itu hingga harus di panggil Om!?”
Tampang kecewanya tak bisa dia sembunyikan dari raut wajahnya, sambil terus mengunyah roti Ramlan tak henti menggerutu, hal itu membuat tawa Andini yang tertahan akhirnya keluar juga.
“Sudah.! Sudah mas,lihat Rosita di depan sana menghilang.!”
Mendengar itu Ramlan berhenti mengunyah, dan cepat dia menelan sisa roti yang ada dalam mulutnya lalu setengah berlari dia memburu ke tempat yang di tunjuk oleh Andini.
“Kemana dia perginya.?”
Tanya Ramlan ketika Andini tiba di tempatnya berdiri.
“Aku rasa dia masuk kesebuah pintu di antara deretan rumah yang berada di sini, tetapi entah pintu yang mana.”
Disana banyak mata yang memperhatikan gerak gerik mereka berdua, pandangan mata yang tak bersahabat itu membuat Ramlan merasa untuk lebih berhati- hati. Setelah menunggu beberapa saat di tempat itu, tiba-tiba seorang llelaki keluar dari sebuah pintu dan tepat sekali berhadapan langsung dengan Andini.
Aneh memang, baik Andini maupun lelaki itu sama-sama tertegun ketika mata mereka saling bertatapan. Seperti sedang sama-sama mengingat-ingat wajah masing-masing, dan tak berapa lama kemudian ingatan mereka berdua sama-sama kembali, membuat Andini sontak terpekik kaget.
“Hei kau.!”
“Tunggu dulu.!?”
Terlambat, lelaki itu keburu kabur dari hadapannya. Dia berlari dengan cepatnya diantara jalanan yang sempit, Ramlan coba untuk mengejarnya, tetapi tangan Andini cepat meraihnya pergelangan bajunya.
“Biarkan saja mas.! Tak perlu kita kejar.”
“Siapa lelaki tadi.?”
“Aku yakin pernah melihat orang itu setelah kita dari toko kaset beberapa waktu lalu.!”
Ramlan coba mengingatnya, lalu mengangguk kecil dia berkata,
“Aku ingat, lelaki yang saat itu menghilang diantara keramaian jalan, sesaat setelah dia menghampiri meja kasir.!”
Andini terlihat menganggukkan kepalanya, namun dalam pikirannya kini tengah melintas sebuah pertanyaan. Mengapa kami bertemu di tempat ini? pandangan mata itu, apa sebenarnya yang tengah di rencanakannya?
“Aku yakin lelaki itu suruhan Andi,dan di kedai itu sebenarnya dia tengah memata-matai kami.”
“jadi apa rencana mu setelah ini.?”
“Aku ngak tahu mas, aku…aku….”
“Kamu kenapa Din!”
“Aku lapar sekali mas….”
Setelah menghabiskan waktu selama empat jam, akhirnya mereka kembali ke rumah makan di mana mobil Ramlan terlihat masih terparkir. Kondisinya tidak berubah, hanya saja suasana rumah makan di sore itu tidak seramai tadi siang. Ramlann kembali duduk di sebuah meja bersama Andini.
“Nhaaaaa lho.!!! Ini dia mas dan mbak yang tadi siang.”
Seorang pelayan datang dan mendadak mengagetkan mereka berdua. Ramlan dann Andini saling pandang lalu sama-sama tersenyum.
“Iya, iya. Sekarang tolong bawakan pesanan kami seperti yang tadi siang ya.?!”
“Parmiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiin…!!!”
Tiba-tiba si pelayan berteriak, yang di panggil datang dan menghampirinya,
“Tolong bawakan pesanan mas dan mbak ini sekarang.!”
“Lho.! Kenapa tidak kamu sendiri yang membawakan pesanan kami?!”
“O… tidak bisa,”
“Kenapa tidak bisa.?!”
“Aku akan berjaga-jaga disini, takut kejadian seperti tadi siang terulang lagi. Mas dan mbak ini menghilang lagi.!”
Ramlan dan Andini sama –sama tertawa mendengar itu semua, mereka hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah laku pelayan restoran itu.
“Ya sudah duduk sini mas bersama kami.!”
“Oh, tidak bisa, nanti saya kena tegur bos saya.!”
Semua Tentang Cinta #17
Terdengar suara seorang pedagang roti tengah melaju dengan gerobaknya kearah mereka, dan tak lama kemudian mereka pun berpapasan dengan si penjual roti tersebut,
“Bang rotinya dua ya.!”
“Apa yang kamu lakukan Mas?!”
“Aku lapar sekali, dan pastinya kamu juga lapar khan?”
Mendengar itu kemudian Andini diam, dan kembali mengawasi sahabatnya yang tengah berjalan membawa sebuah tentengan plastic berwarna merah berisi nasi bungkus.
“Mau rasa apa Om?!”
Ramlan tertegun mendengar pertanyaan dari si penjual roti, dia melirik kea rah Andini yang tengah senyum-senyum sendiri mendengar Ramlan di panggil Om oleh si penjual Roti.
“Keju dua bang.!”
Andini cepat menjawab pertanyaan tukang roti tadi dan masih sambil senyum-senyum , setelah penjual roti berlalu dari hadapan mereka ramlan berkata,
“E, buset dah.! Emang aku setua itu hingga harus di panggil Om!?”
Tampang kecewanya tak bisa dia sembunyikan dari raut wajahnya, sambil terus mengunyah roti Ramlan tak henti menggerutu, hal itu membuat tawa Andini yang tertahan akhirnya keluar juga.
“Sudah.! Sudah mas,lihat Rosita di depan sana menghilang.!”
Mendengar itu Ramlan berhenti mengunyah, dan cepat dia menelan sisa roti yang ada dalam mulutnya lalu setengah berlari dia memburu ke tempat yang di tunjuk oleh Andini.
“Kemana dia perginya.?”
Tanya Ramlan ketika Andini tiba di tempatnya berdiri.
“Aku rasa dia masuk kesebuah pintu di antara deretan rumah yang berada di sini, tetapi entah pintu yang mana.”
Disana banyak mata yang memperhatikan gerak gerik mereka berdua, pandangan mata yang tak bersahabat itu membuat Ramlan merasa untuk lebih berhati- hati. Setelah menunggu beberapa saat di tempat itu, tiba-tiba seorang llelaki keluar dari sebuah pintu dan tepat sekali berhadapan langsung dengan Andini.
Aneh memang, baik Andini maupun lelaki itu sama-sama tertegun ketika mata mereka saling bertatapan. Seperti sedang sama-sama mengingat-ingat wajah masing-masing, dan tak berapa lama kemudian ingatan mereka berdua sama-sama kembali, membuat Andini sontak terpekik kaget.
“Hei kau.!”
“Tunggu dulu.!?”
Terlambat, lelaki itu keburu kabur dari hadapannya. Dia berlari dengan cepatnya diantara jalanan yang sempit, Ramlan coba untuk mengejarnya, tetapi tangan Andini cepat meraihnya pergelangan bajunya.
“Biarkan saja mas.! Tak perlu kita kejar.”
“Siapa lelaki tadi.?”
“Aku yakin pernah melihat orang itu setelah kita dari toko kaset beberapa waktu lalu.!”
Ramlan coba mengingatnya, lalu mengangguk kecil dia berkata,
“Aku ingat, lelaki yang saat itu menghilang diantara keramaian jalan, sesaat setelah dia menghampiri meja kasir.!”
Andini terlihat menganggukkan kepalanya, namun dalam pikirannya kini tengah melintas sebuah pertanyaan. Mengapa kami bertemu di tempat ini? pandangan mata itu, apa sebenarnya yang tengah di rencanakannya?
“Aku yakin lelaki itu suruhan Andi,dan di kedai itu sebenarnya dia tengah memata-matai kami.”
“jadi apa rencana mu setelah ini.?”
“Aku ngak tahu mas, aku…aku….”
“Kamu kenapa Din!”
“Aku lapar sekali mas….”
Setelah menghabiskan waktu selama empat jam, akhirnya mereka kembali ke rumah makan di mana mobil Ramlan terlihat masih terparkir. Kondisinya tidak berubah, hanya saja suasana rumah makan di sore itu tidak seramai tadi siang. Ramlann kembali duduk di sebuah meja bersama Andini.
“Nhaaaaa lho.!!! Ini dia mas dan mbak yang tadi siang.”
Seorang pelayan datang dan mendadak mengagetkan mereka berdua. Ramlan dann Andini saling pandang lalu sama-sama tersenyum.
“Iya, iya. Sekarang tolong bawakan pesanan kami seperti yang tadi siang ya.?!”
“Parmiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiin…!!!”
Tiba-tiba si pelayan berteriak, yang di panggil datang dan menghampirinya,
“Tolong bawakan pesanan mas dan mbak ini sekarang.!”
“Lho.! Kenapa tidak kamu sendiri yang membawakan pesanan kami?!”
“O… tidak bisa,”
“Kenapa tidak bisa.?!”
“Aku akan berjaga-jaga disini, takut kejadian seperti tadi siang terulang lagi. Mas dan mbak ini menghilang lagi.!”
Ramlan dan Andini sama –sama tertawa mendengar itu semua, mereka hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah laku pelayan restoran itu.
“Ya sudah duduk sini mas bersama kami.!”
“Oh, tidak bisa, nanti saya kena tegur bos saya.!”
Semua Tentang Cinta #17
Begitu dashyat perubahan yang terjadi dalam diri serta kehidupan laki-laki yang kini tengah merasakan rasa sakit akibat candu dari narkotik yang telah mengendap dalam aliran darahnya, seluruh persendian dalam tubuhnya seolah ditusuk oleh ribuan jarum. Terus saja menghujam dan tak mau berhenti hingga erangan rasa sakit keluar dari mulut si lelaki ini, matanya yang cekung dengan garis hitam melingkar si seputar kelopak matanya, tampak terpejam. Giginya bergemeretak saling beradu, dari balik celah-celah gigi yang beradu itu terdengar suara desisannya.
“Kurang ajar.!! Aku tak mau tahu pokoknya cepat kau bawakan barang laknat itu sekarang juga.!”
Dia berkata sambil kedua tangannya menjambak kerah baju sahabatnya, sesekali dia juga terlihat menggoyang-goyangkan tubuh sahabatnya itu yang lebih banyak terdiam.
“Diam kau.!!!”
“Aku sudah muak dengan suara tangisan mu itu. Enyah kau dari sini.!”
Matanya yang merah berkilat seperti bara api dan melotot ke arah seorang wanita berkaca mata yang tengah sesenggukan menahan isak tangisnya, di pelototi dan dibentak seperti itu wanita ini terlihat hanya menutupi wajahnya dengan kedua belah tangannya.
“Andi sudahlah,kasihann dia, dia tengah mengandung anak mu.!?”
“Aku sudah sangat tersiksa dengan keadaan tubuhku.”
Setengah berbisik si lelaki bernama Andi itu berkata. Lalu dia melanjutkan perkataannya,
“Tolonglah aku Gun.! Aku sungguh membutuhkan barang haram itu sekarang ini. Tubuhku terasa sangat tersiksa sekali.!”
Sahabatnya yang dipintai tolong itu sesaat terdiam… lalu dia berkata,
“Dengar kawan, bukan aku menolak permintaan mu, tetapi saat ini kita benar-benar tidak punya uang lagi.!”
Mendengar perkataan sahabatnya itu, Andi menjadi kian lemas. Dia mengakuinya jika kini keadaan tidak seperti dulu lagi, dimana dulu uang begitu mudah dia dapatkan hanya dengan meminta dan menengadahkan tangan pada kedua orang tuanya. Dia terduduk lemas bersandar pada dinding kamar, kedua kakinya di tekuk merapat dengan tangan memeluk kedua betisnya itu. Seandainya saja kedua orang tua ku tidak jatuh miskin derita ini mungkin tak akan ku alami,begitulah lelaki ini berkata dalam hatinya. Setelah itu tiba-tiba saja mendadak dia berteriak kaget,
“Siapa itu…!?”
“Tidak, aku tidak mau masuk penjara.!!! Aku tidak bersalah….”
Lelaki itu histeris lalu bergerak menggeser duduknya kebelakang punggung sahabatnya, kepalanya di benamkan pada belakang punggung sahabatnya itu tetapi kedua tangannya terus menepis nepis tak beraturan. Dia terlihat begitu ketakutan, dan entah halusinasi macam apa yang tengah menghinggapinya hingga dia terlihat begitu ketakutan.
~***~
Sementara jauh dari ruang kamar yang sempit itu, sebuah mobil sedang melaju ditengah kemacetan jalan raya. Tiga anak manusia tampak tengah duduk di dalam mobil tersebut, dua orang duduk di bangku depan, yakni seorang lelaki dengan topi warna hijau yang tengah mengendarai mobil. Disebelahnya duduk seorang wanita berbaju warna pink dengan rambut terurai sepundak. Dan satu orang lagi duduk di bangku belakang seorang lelaki dengan sebuah kobar api semangat dimatanya,untuk tetap memperjuangkann cinta sejatinya.
“Kalian tau tidak?”
“Sebenarnya saya iri pada kalian berdua ini.!”
Lelaki dengan topi berwarna hijau terbalik ini berkata,kemudian melanjutkan perkataannya lagi.
“Kalian tahu kenapa?..”
Yang di tanya sama-sama menggelengkan kepala, setelah itu dia melanjutkan perkataannya,
“Kelak jika kalian menikah,akan ada banyak cerita yang bisa kalian ceritakan pada anak-anak kalian tentang petualangan ini.”
Sambil berkata matanya melirik kearah kaca spion tengah, dia melihat senyum sahabatnya itu terkembang. Sementara si wanita sendiri, yang duduk disebelahnya terlihat tak bereaksi. Pandangan matanya kosong.!!!
“Lho, Andini mengapa melamun.?!”
Cepat wanita yang di panggil dengan nama Andini ini tersadar, sambil sedikit merubah posisi duduknya wanita ini berkata,
“Oh… tidak apa-apa kok.!”
“Ah… entahlah kapten, sepertinya harapan untuk bisa sampai kesitu sudah agak susah.!”
Lelaki yang duduk di bangku belakang berkata,sambil melirik kearah Andini.
“Lho…, mana Ramlan yang saya kenal.! Yang selalu pantang menyerah dan tak pernah gentar dalam menegakkan keyakinannya.!”
Tak ada reaksi yang berarti…setelah itu keadaan dalam mobil menjadi sunyi, benak mereka masing-masing seperti tengah sibuk dengan pikiran serta dugaan masing-masing. Mobil terusu melaju,dan kian mendekati tujuan. Andini yang berada di depan menjadi menjadi pemandu arah agar kapten Harris tak sampai salah membelok.
“Setelah Rumah makan Padang itu, Abang belok kiri…”
Andini berkata kepada kapten Harris dan disambut dengan anggukan kepalanya.
“OK.!!!..........”
Cinta Itu Suci…
Bertiga akhirnya mereka berjalan kaki menyusuri jalan,karena memang jalan terlalu kecil. Ramlan,Andini dan juga Kapten Harris terlihat berjalan beriringan membelah keramaian suasana gang, dan terlihat diantara mereka bertiga Andini lah yang nampak paling bersemangat, dia berjalan dimuka dengan wajah tak henti menoleh ke kiri dan kanan memperhatikan suasana setiap sudut jalanan. Langkahnya cepat dijalann yang datar itu, lalu tak lama kemudian…mulai melambat ketika tiba di sebuah kelokan dan kini benar-benar langkahnya telah terhenti.
“Ada apa?!”
Ramlan bertanya padanya,
“Tuh lihat, ada tukang roti.!!”
“HALLAHHH.!!!”
Ramlan nyaris terjatuh ketika dia nelihat tukang roti yang sama di jumpainya beberapa hari yang lalu.
“Ogah.! Aku enggak mau di panggil Om lagi sama tukang roti itu,!”
Dia berkata sambil tangannya mengucek-ucek rambut Andini.
Tawa mereka berdua seketika itu juga meledak.! Tinggallah kapten Harris yang kebingungan sendiri menyaksikan tingkah laku kedua sahabatnya yang sama-sama sudah bangkotan itu.
“Ono opo toh.?!”
Kapten bertanya,
“Enggak tahu nih Om Ramlan….”
“Sudah-sudah jangan menggodaiku seperti itu lagi.!”
“Yoo… ada yang ngambek nih,!?”
Kapten Harris mendekat kearah Andini, lalu dia membisikkan sesuatu ketelinga gadis itu. Melihat hal itu Ramlan langsung bereaksi,
“Kalian sedang ngomongin aku ya?!”
Ramlan terlihat sewot sambil pandangan matanya bergantian menatap wajah Andini dan kapten Harris,
“Enggak kok,!”
Keduanya menjawab berbarengan,
“Huh,! Awas ya kalau ketahuan ternyata kalian tadi ngomongin aku,tak jitak rai mu.!!!”
******
Cinta memang agung,dia tak pernah memandang kasta, dan tak juga ada yang kuasa menghalanginya. Jika cinta sudah berlabuh pada hati seorang insan, maka tahi kucingpunn serasa coklat. Mungkin kini perasaan itu tengah melanda Rosita, gadis imut dengan kaca mata yang dikenakannya dan kian memepercantik wajahnya, kini benar-benar tengah di butakan oleh cinta. Perjuangannya untuk mendapatkan sang pangeran tambatann hatinya benar-benar panjang dan berliku, penuh dengan cerita serta lengkapp dengan bumbu-bumbu penghianatan yang dilakukannya.
Sampai mati…cinta itu akan selalu dijaganya, menerima segala kekurangan serta kelebihannya. Benih kasih sayang yang kini tumbuh didalam rahimnya membuatnya semakin merasa sayang, bagai manapun pada dasarnya dia adalah suci, dari cinta yang suci tumbuh benih yang suci pula. Walau kengerian sebenarnya kini tengah berada diambang pintu, gunjingan akan semakin keras terdengar,miris hati Rosita jika teringat akan hal itu.
Langkah-langkah kecilnya terus mengalun membelah jalanan sempit itu, beberapa pasang mata memperhatikan gerak langkahnya itu, dan diluar sepengetahuannya beberapa pemilik mata itu kini mengikuti langkahnya. Hari sudah mulai siang, terik matahari jelas terasa menyengat di ubun-ubun, namun seperti tak peduli dengan panas serta terik yang membakar, baik Rosita maupunn beberapa pemilik pasang mata yang kini mengikutinya terus bergerak membelah suasana jalan sempit dengan panas yang menyengat itu.
Hingga tibalah dia pada sebuah jalan yang diapit oleh sebuah musholla tiba-tiba tiga sosok yang tadi mengikuti Rosita memeaksanya untuk menghentikan langkah kakinya, bagai manapunn rasa terkejut yang dirasakannya nyaris membuat jantungnya melompat keluar dari persemaiamannya selama ini. Mulut mungil itu tanpa sadar terbuka, ketika di hadapannya kini telah berdiri sesosok wujud wanita yang sangat dikenalinya selama ini.
“……… kau,!?”
Bagaimanakah kisah selanjutnya, tunggu saja kelanjutannya…..
Semua Tentang Cinta #19 - Kau Tak Sendirian.!
Suara bising dan panasnya terik matahari siang itu seolah tenggelam dan menghilang ditelann rasa was-was serta ketakutan yang tiba-tiba datang menghampirinya, segala rasa berkecamuk menjadi satu dalam dirinya, untuk mengira-ngira Rosita benar-benar tak mampu apalagi di suruh menebak.! Dia benar-benar tak berdaya. Hanya gerakan matanya saja yang terlihat aktif mencari celah kosong untuk bisa lolos dari hadapan ke tiga orang yang kini tengah mengepungnya. Setelah beberapa saat kini kedua kakinya terasa ringan berkat dorongan kekuatan hatinya untuk bisa lolos dari kepungan, namun mendadak ciut kembali ketika mendengar orang yang ada di hadapannya berkata,
“Sita hentikan.!”
“Kami ini bukan manusia-manusia yang biadab,kami datang untuk menolongmu Rosita !”
“Omong kosong ! jika kau mau membantu ku, maka biarkan aku pergi dari sini !”
Wanita yang kini menghalangi jalan Rosita terdiam.kedua tangannya terkepal erat,
“Baiklah !, jika itu mau mu. Sekarang katakan dimana laki-laki bejad itu bersembunyi ?!”
Suaranya terdengar datar…
“Persetan dengan mu !!!”
Suara Rosita meninggi…
“Wanita jalang, dengar baik-baik olehmu. Jelas-jelas kau sudah coba menutupi keberadaannya, maka dari itu biarlah pihak yang berwajib menangkap mu juga !”
Dua orang lelaki yang sedari tadi terdiam kini berlanjut menjadi pendengar, kapten Harris sudah tak sabaran, dia menoleh ke arah Ramlan, namun pemuda itu malah menempelkan jari telunjuknya tepat di depan mulutnya. Kemudian tangannya memberi aba-aba agar sang kapten tenang dulu,mungkin karena kesal dengan tingkah Ramlan , sang kapten hanya menggaruk-garuk kulit kepalanya yang terhalang topi yang dikenakannya itu.
“Sadarlah Sita !, dia bukan lelaki yang tepat untuk mu !?”
“Oya !, lalu siapa wanita yang tepat untuknya ?... Kamu !!!”
Rosita balik mendesak kata-kata wanita yang kini ada dihadapannya dengan pertanyaan,
“Aku tak akan sudi membiarkan kau memilikinya,apa kau tidak merasa kasihan dengan Ramlan karena telah menyia-nyiakann cintanya !”
“Tutup mulut mu !”
Dua lelaki dari ke tiga orang yang menghadang Rosita yang sedarii tadi hanya berdiam diri, kini kembali saling pandang. Tak lama kemudian terlihat kapten Harris mengangguk kecil, dia seperti mulai mengerti dengan aba-aba yang diberikan oleh Ramlan agar tetap tenang, dan mulai faham akan kemana arah pembicaraan ke dua wanita itu. Ramlan balas mengangguk sambil mengangkat ibu jarinya setinggi dadanya.
“Sadarlah Sita, pada dasarnya lelaki itu memang sengaja memperalat kita. Dia sengaja mengadu domba kita, dia benar-benar bukan tipe lelaki yang bertanggung jawab !”
Rosita nampak terdiam sesaat,dalam hati kecilnya dia memang mengakui dan bahkan sempat mencuri dengar pembicaraan telepon kekasihnya itu dengan salah satu sahabatnya yang merencanakan untuk meninggalkan mereka berdua.
“Akuilah Sita !, bahwa di balik perkataan ku itu ada tersimpan kebenaran.”
“Kau tau apa hah !?, kau tak tahu apa-apa !!”
“Pergilah dari hadapan ku dan jangan kau urusi kami lagi, kau harusnya merasa malu karena telah melibatkan dia dalam drama perselingkuhan mu ini !”
Kata-kata Rosita berhenti ketika jari telunjuknya mengarah ke wajah Ramlan,
‘PLAAAAAAK !!!”
Satu tamparan mendarat di pipi kanan Rosita, rupanya Andini sudah tidak bisa menahan kesabarannya lagi. Ramlan cepat memburu ke arah ke dua wanita itu yang di ikuti kapten Harris, ke duanya segera melerai dan memisahkannya.
“Cukup !!!”
“Sudah cukup !,kalian harusnya malu dengan kelakuan kalian sendiri, jangan pernah lupakan bahwa kalian adalah sahabat, janganlah kalian terbawa oleh rasa kebencian dan permusuhan yang ada dalam hati kalian !”
Ramlan berkata sambil memegangi tubuh Andini, dan membuat jarak bagi kedua wanita ini.
“Nona, maaf sebelumnya jika perkataan saya ini akan terdengar kurang mengenakan, tetapi ketahuilah… Andi adalah buronan kepolisian, dia tersangka utama kami dalam kasus kekerasan dan pembunuhan !”
Kapten Harris berkata pada Rosita,
“Apa kata mu?... “Tidak mungkin !?... “lagi pula kau ini siapa?!”
Gamang Rosita berkata….
“Saya dari kepolisian pusat yang bertugas untuk mencari serta menangkapnya, baik hidup maupun mati !”
Hancur sudah harapan Rosita selama ini,dia tak bisa membayangkan bagai mana jadinya jika kekasihnya masuk tahanan. Nasib bayi dalam kandungannya akan terlahir tanpa seorang ayah, dia tak bisa membayangkan jika harus berjuang sendirian membesarkan buah hatinya. Rosita pun kini membathin dalam hatinya ,pantas saja kekasihnya itu sering berteriak-teriak ‘aku tak bersalah…. Aku tak mau masuk penjara’ rupanya dia memang telah di terror oleh rasa bersalahnya sendiri.
Akan Tetap Ada Canda Di Antara Kita - Semua Tentang Cinta #20
Memiliki rasa cinta adalah sebuah Anugrah, dan memiliki seseorang yang kita cinta adalah sebuah keberkahan. Salah satu nikmat Tuhan yang tak akan pernah habis untuk di bagikan kepada sesama,tak pernah pula lekang di makan waktu. Walau terkadang cinta membuat mata ini Rabun danterkadang pula cinta membuat logika ini tak menentu, Cinta mampu membuat segala angan-angan ini melayang dia juga mampu menepiskan kekhawatiran yang sempat melintas dalam pikiran.
Segala penyesalan datang ketika semuanya tlah berlalu,buntut dari perbuatan baik tentu tak berujung pada sebuah penyesalan namun lebih pada manisnya hidup. Nikmat Tuhan yang telah menjadikan manusia merasakan kegembiraan dan kesedihan, karena sebenarnya saat manusia berada di salah satu titik itu (kegembiraan atau kesedihan) ada terdapat tanda jika manusia itu menyadarinya.
Rosita duduk terkulai di terotoar jalan matanya berlinangan air mata,setelah Kapten Harris bercerita tentang kejadian yang sebenarnya tentang kasus pembunuhan yang di dalangi oleh kekasihnya itu. Sementara ke tiga orang lainnya yakni Ramlan, Andini dan Kapten Harris sendiri kini sedang saling pandang, diantara mereka bertiga sepertinya masing-masing ingin menanyakan tindakan selanjutnya,tetapi tidak ada satupun diantara mereka yang bersuara.
"Apakah jeruji besi bisa menyadarkannya ?!..."
Setengah bergumam sendiri Rosita berkata,memebuat ke tiga orang di sekelilingnya kaget. Kapten Harris cepat bergerak mendekatinya lalu berkata.
"Saya tak berani menjamin nona !, tetapi kita bisa memberi perhatian lebih kepadanya. Semoga dengan adanya dinding penyekat itu penyesalannya bisa membuahkan sebuah kesadaran, semoga bisa kembali walau perlahan !."
"Ya !, semoga masih ada harapan dan bisa membawa kebaikan untuk kalian berdua !."
Ramlan menimpali yang kemudian di amini oleh Andini,
"Benar sita,kita tidak menginginkan hal yang buruk. Bagai manapun dan apa pun yang telah terjadi, aku sebagai sahabat tetap menginginkan yang terbaik untukmu !."
Seakan tak percaya dengan ucapan terahir yang didengarnya dari mulut Andini,gadis berkaca mata ini terdiam menatap wajah Andini, pandangannya jauh menembus kedalam kedua kelopak mata Andini,dia seakan ingin coba membaca kesungguhan ucapan Andini. Sebuah senyum terkembang... dari bibir Andini membuat kebimbangan serta keraguan hatinya luluh. Di ulurkannya tangan kanannya itu dan meraih jari jemari tangan Andini.
"Sungguh Din ?!."
"Heeh.."
Andini menjawab dengan di barengi dengan anggukan kepalanya,suasana berubah menjadi mengharukan... kedua wanita ini saling berpelukan dan melepas kebencian mereka masing-masing.
Ramlan tersenyum kearah kapten Harris, matanya sedikit sayu dan tanpa di sadarinya kedua belah tangan itu terbuka. Melihat kelakuan sahabatnya seperti itu justru membuat kapten Harris bergidik, cepat dia menjitak kepala si pemuda.
"Aduh !!!, apa-apaan sih !?."
"Kamu tuh yang apa-apaan ?, pake minta di peluk segala !."
"Yeee.. kalian berdua ada kelainan ya ?!"
Andini meledek kearah kedua lelaki yang kini terlihat sedang serba salah, tawa kecilnya tak urung membuat Rosita ikut terbawa dia tersenyum lalu ikut tertawa juga...
"Sudah ah...aku cuma terbawa suasana haru, melihat kalian berdua."
Kata Ramlan,
"Oh... kamu mau di peluk juga ya..!"
Andini berkata sambil bergerak bangkit dan mendekati Ramlan, lalu kedua tangannya menyelinap diantara ketiak pemuda itu. Dan tak lama kemudian dia pun memendamkan tubuhnya merapat dengan tubuh Ramlan. Sesaat Ramlann terlihat canggung,namun beberapa menit kemudian kedua tangannya kini terlihat merengkuh punggung Andini.
"Eeheem...!!!"
Terdengar kapten Harris mendehem membuyarkan perasaan damai yang tengah dirasakan mereka berdua.
Pertemuan Terakhir – Semua Tentang Cinta #21
Untuk menyelesaikan kasus-kasusnya terkadang jalan kekerasann tidaklah selalu evektif serta bisa menyelesaikan permasalahan itu sendiri, namun jika situasi memaksa bukan tidak mungkin seperangkat alat yang sangat mematikan berupa pistol dan timah panas yang berada di pinggang sang kapten pun ikut berbicara. Pengalamanlah yang telah mempertajam naluri sang kapten untuk lebih jeli menyikapi dan menyelesaikan kasus-kasus yang ditanganinya, di tangannya sudah berpuluh-puluh kasus yang sukses di selesaikannya, satu persatu para kriminal dann penjahat kambuhan di ringkusnya.
Seperti kasus yang kini tengah di tanganinya,siapa nyana ternyata eh ternyata semua ini berkaitan erat dengan orang-orang baik yang ada di sekitar sang kapten sendiri. Mulai ketika tanpa disengaja dia bertemu dengan Andini di kediaman Ramlan salah satu sahabatnya yang pertama kali dikenalnya ketika penangkapan juragan Anchung seorang sindikat Narkoba, di rumah Ramlan sendiri waktu itu sebenarnya kapten Harris tanpa sengaja dia menceritakann kasus sebuah pembunuhan kepada Ramlan, yang mana karena tersangka merasa kesal telah menjadi objek pemerasan oleh korbannya sendiri.
Dan akhirnya tanpa di duga-duga kembali lagi menarik Ramlan dan juga gadis bernama Andini itu kedalam lingkaran petualangannya sebagai seorang penegak keadilan, semuanya memang di luar dugaannya, berangkat dari cerita sedih Ramlan yang telah di khianati oleh tambatan hatinya yang mana ternyata lelaki yang mampu membuat perhatian Andini ini berpaling adalah seorang morfinis laknat yang tak bernyali menghadapi kenyataan hidup.
Cinta segi tiga lelaki bernama Andi yang kini menjadii target utamanya telah menyeret Andini dan Rosita kedalam sebuah pertengkaran antar sesama sahabat karena berebut cintanya, kapten Harris merasa kasihan kepada Ramlan sahabatnya itu. Bagai manapun kini bunga tak lagi segar dan merekah mewangi, karena kumbang lain telah lebih dahulu menghisap manisnya madu. Namun yang dilihatnya, Ramlann tak sedikitpun menghiraukan akan keberadaan Andini seperti itu. Itulah cinta sejati yang dimiliki oleh Ramlan,dia tetap memegang teguh cintanya meski bunga kini tak lagi merekah.
Apa yang dirasakan oleh kaptenn Harris tentu Ramlan punn merasakannya juga , karena jelas sekali sikap serta bahasa tubuh Andini yang seperti terus memberi pertanda kepada pemuda itu bahwa ‘aku kini bukann yang terbaik untuk mu’ walau sebenarnya bara api cinta masih ada dalam hati Andini untuk pemuda itu. Dia seperti terus ingin meneriakkann kata aku ini kotor, aku kini tak lagi terhormat, namun tak juga di perdulikan oleh Ramlan.
Dalam lingkaran cinta segi tiga serta konflik antar persahabatan inilah akhirnya kapten Harris muncul dan membawa angin perdamaian diantara mereka, canda serta tawa yang sempat hilang baik itu antara Andini dengan Rosita, atau sebaliknya Antara Ramlann dan Andini kini perlahan telah kembali. Pemikiran Rosita pun mendadak terbuka ketika dijelaskan kepadanya bahwa, menutupi keberadaann seorang buronan adalah salah satu tindakan yang tak terpuji di mata hukum. Hingga pada akhirnya Rosita pun beranggapan memang penjaralah jalann yang terbaik untuk memberinya perhatian lebih terhadap Andi kekasihnya itu.
Dan penangkapan Andi sebagai otak atau dalang dibalik pembunuhan suami mantan kekasihnya itu sedikitpun tak menimbulkan kerusuhan terhadap lingkungan di sekitarnya , hal ini dikarenakan kondisi serta kejiwaan tersangka memang sudah diluar kontrolnya. Layaknya seorang pesakitan Andi hanya meringkuk di pojok sebuah ruangan dengan tubuh menggigil seperti tak kuat menahann dingin, hanya kedua tangannya yang terlihat coba menepis rengkuhan tangan sang kapten.
“Ayo Andi,saat ini kau membutuhkan seorang dokter !, untuk mengobati penyakit mu ini. Saya berjanji tak akan menyakiti mu !.”
Kapten Harris coba membujuknya, dan kembali kedua tangannya coba meraih pergelangan tangan Andi.
“Ayo Mas, kita pergi dari sini. Kamu butuh seorang dokter !”
Rosita coba ikut membujuk kekasihnya itu,perlahan lelaki ini coba untuk bangkit namun mendadak kembali menjatuhkann tubuhnya dann meringkuk di tempatnya semula setelah pandangannya menatap sosok Andini, kini hampir sebagian wajahnya nyaris tak terlihat karena begitu dalamnya dia menyusupkan wajah itu diantara tekukan kedua lutut kakinya.
Gadis berbaju pink ini terdiam mematung,tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Andini merasa terkesima melihat keadaan Andi, seorang pemuda yang dulu begitu tampan dan juga periang baginya, kini hampir 180 derajat berubah. Diam-diam Ramlan terus memperhatikan setiap perubahan mimik wajah Andini, pemuda ini pun membathin ternyata memang tak semudah itu untuk melupakan memory indah itu ketika bersamanya…
-The end-
Tinggalkan balasan